Gigi Palsu di Jasad Mayit
Bismillah was
shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama,
diperbolehkan bagi orang yang mengalami cacat di salah satu anggota badannya,
untuk memperbaikinya atau menambalnya dengan benda lain, sekalipun dengan emas.
Berdasarkan hadis Urfujah bin As’ad radhiyallahu 'anhu, bahwa hidungnya pernah
terpotong karena terkena pedang ketika perang. Kemudian ditambal perak, namun
luka hidungnya makin parah. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menasehatkan agar ditambal dengan emas, dan ternyata cocok. (HR.
An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani). Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: http://www.konsultasisyariah.com/hukum-gigi-palsu/
Kedua, jenazah muslim wajib disikapi
sebagaimana orang hidup. Artinya tidak boleh dikerasi, tidak boleh dilukai,
atau diambil bagian tubuhnya, apalagi dipatahkan tulangnya.
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
”Mematahkan
tulang mayit, statusnya sama dengan mematahkan tulangnya ketika masih hidup.”
(HR. Abu Daud 3207, Ibnu Majah 1616, dan yang lainnya).
Mengingat hadis
ini, Fatawa Syabakah Islamiyah menegaskan satu kaidah,
فمن المقرر شرعاً أن حرمة المسلم وهو ميت كحرمته وهو حي، ومن ثم فلا
يجوز التعدي على حرمته
”Bagian prinsip
penting dalam syariat, kehormatan seorang muslim ketika sudah mati statusnya
sama dengan kehormatannya ketika masih hidup. Karena itu, tidak boleh dilanggar
kehormatannya.” (Fatawa Syabakah islamiyah, no. 12511)
Ketiga, para ulama menegaskan bahwa tidak wajib
mengambil benda asing yang ada pada tubuh mayit. Makna tidak wajib, artinya
keberadaan barang itu di tubuh mayit, tidak memberikan dampak apapun bagi
mayit. Keberadaan benda itu, tidaklah menyebabkan si mayit menjadi tertahan
amalnya atau dia tidak tenang, atau keyakinan semacamnya.
Dalam kitab al-Inshaf, al-Mardawi al-Hambali (w. 885 H)
mengatakan,
قال في الفصول: وكذا لو رآه محتاجا إلى ربط أسنانه بذهب فأعطاه خيطا
من ذهب، أو أنفا من ذهب فأعطاه فربطه به ومات، لم يجب قلعه ورده، لأن فيه مثلة
“Dalam kitab al-Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh
untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau
dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian
dia mati, maka tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena
melepasnya menyebabkan menyayat mayat.” (al-Inshaf, 2/555).
Hal yang sama juga
disampaikan Ibnu Qudamah,
وإن جبر عظمه بعظم فجبر، ثم مات، لم ينزع إن كان طاهرا. وإن كان نجسا
فأمكن إزالته من غير مثلة أزيل؛ لأنه نجاسة مقدور على إزالتها من غير مضرة. وإن
أفضى إلى المثلة لم يقلع
”Jika tulang seseorang ditambal dengan tulang hewan lain,
lalu ditutup, kemudian dia mati, maka tidak boleh dilepas, jika tulang pasangan
itu suci. Namun jika tulang pasangan
itu najis, dan memungkinkan untuk dihilangkan tanpa menyayat mayit maka dia
diambil. Karena ini termasuk benda najis yang mampu untuk dihilangkan tanpa membahayakan.
Namun jika harus menyayat mayit maka tidak perlu dilepas.” (al-Mughni, 2/404).
Dari keterangan
di atas, pada prinsipnya melepas benda yang ada di jasad mayit tidak
diperbolehkan, kecuali jika ada 2 pertimbangan
- Ada maslahat besar untuk mengambil benda itu, misalnya karena nilainya yang mahal atau karena benda yang ada di tubuh mayit itu najis.
- Tidak membahayakan bagi mayit, misal tidak menyebabkan harus menyayat mayit.
Selain itu, tidak
diperbolehkan mengambilnya.
Imam Ibnu Utsaimin
menjelaskan,
ما حكم
أسنان الذهب وغيرها مما ركبه الإنسان في حياته هل تدفن معه أم تخلع؟ الجواب: أما
ما لا قيمة له فلا بأس أن يدفن معه كالأسنان من غير الذهب والفضة والأنف من غير
الذهب، وأما ما كان له قيمة فإنه يؤخذ إلا إذا كان يخشى منه المُثلة، كما لو كان
السن لو أخذناه صارت المُثلة فإنه يبقى معه
“Bagaimana hukum gigi emas atau semacamnya yang dipasang
seseorang ketika hidup. Apakah dikubur bersama mayit ataukah boleh dilepas?.
Jawabannya, jika benda itu tidak bernilai, tidak masalah
dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan emas atau perak, atau hidung
palsu yang bukan emas. Namun jika benda itu bernilai, maka boleh diambil,
kecuali jika dikhawatirkan akan merusak badan mayit, misalnya ketika gigi itu
diambil akan merusak rahang, maka gigi itu dibiarkan untuk dikubur bersama
mayit.” (as-Syarh al-Mumthi, 5/283).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar