By; Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu 'ala rasulillah, wa ba'du
Ketika
disebut kata wali Allah, yang terbayang di benak sebagian besar kaum muslimin adalah orang yang bisa terbang,
berjalan di atas air, jum'atan di Masjidil Haram sementara orangnya di indonesia,
shalat di atas pelepah pisang, punya banyak karamah, bisa mengobati orang
sakit, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) dan seambreg
anggapan-anggapan sakti yang lainnya. Atau bisa dsimpulkan, mereka menganggap wali
itu sama dengan orang sakti. Sehingga tidak heran, ada di antara mereka
menganggap wali untuk orang fasiq yang berlumuran dengan dosa dan maksiat namun
memiliki kesaktian. Sebaliknya, orang yang taat dan ikhlas dalam beribadah
namun karena tidak memiliki kesaktian maka status kewaliannya diragukan.
Pemahaman
ini, menjadikan sebagain besar kaum muslimin tidak bisa membedakan siapakah
wali Allah dan siapakah yang bukan wali Allah (wali setan). Akibatnya mereka
mensikapi wali-wali Allah sebagai musuh, sebagaimana sikap mereka terhadap setan
dan sebaliknya wali-wali setan selama dia punya banyak kesaktian disikapi sebagaimana
orang shaleh dan dianggap sebagai wali-wali Allah. Bahkan ada di antara mereka
menganggap wali-wali setan tersebut seperti para nabi atau bahkan lebih tinggi
dari kedudukan Nabi, diantarama mereka ada menganggap orang-orang sakti
tersebut seperti malaikat.
Disadari
maupun tidak, ini adalah salah satu musibah besar yang menimpa pemahaman kaum
muslimin. Bahayanya tidak hanya berkisar pada dataran kerangka berfikir kaum
muslimin, namun yang lebih mengenaskan, kerangka berfikir itu membuahkan sebuah
sikap yang mendatangkan murka Allah. Tak jarang kita saksikan beberapa orang
islam yang menghina bahkan berupaya membunuh ulama ahlus sunnah dalam rangka
membela gurunya yang mereka anggap wali Allah.
Mereka
berkeyakinan gurunya tidak boleh disalahkan karena dia orang yang Maksum
(terlindungi dari dosa dan kesalahan). Meskipun sang kyai pernah mengatakan
Al-Quran adalah kitab porno, atau memperjuangkan persamaan agama, atau atau menjalin
kerjasama dengan negara yahudi israel ,
atau bahkan dibaptis di gereja nasrani.
Siapapun
yang menyalahkan pendapat maupun sikap gurunya maka darah dan kehormatannya
halal untuk dirusak, tanpa memandang status pendapat dan sikap gurunya. Meskipun
telah nampak dengan jelas kesalahan gurunya, namun tak peduli mana yang sesuai
dengan Al Qur'an dan Sunnah, yang penting guru saya adalah wali.
Allah ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ
احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
"Orang-orang yang
menyakiti orang-orang yang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata"
(QS: Al Ahzab 58)
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda dalam hadis qudsi, bahwa Allah mengatakan,
مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
"Barang
siapa yang memusuhi waliKu maka Aku umumkan untuk berperang dengannya…"
(HR. Al Bukhari 6502)
Mengingat
pentingnya masalah ini, berikut akan dipaparkan beberapa kaidah penting tentang
hakekat wali Allah dan wali setan.
Definisi wali
Secara
bahasa kata al walii berasal dari kata dasar al walaayah [arab: الولاية ] yang artinya cinta dan kedekatan. Lawan kata dari kata
Wali adalah al ‘adaawah [arab: العداوة ] yang artinya
permusuhan.
Orang
yang dekat dengan Allah disebut wali Allah karena kedekatannya dengan Allah
melalui ketaatan yang dia lakukan dan ketundukannya untuk berusaha mengikuti
semua yang Allah perintahkan. Dalam al Qur’an surat Yunus ayat 62-63 Allah telah
menjelaskan definisi wali Allah, dalam firmanNya:
أَلَا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (62)
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa."
Ayat
ini merupakan kaidah pokok untuk memahami siapakah wali Allah. Karena itu, para
ulama yang mendefinikan siapakah wali Allah, semua merujuk ayat ini. Berikut keterangan
mereka:
Ibn
Katsir mengatakan ketika menafsirkan ayat ini: “Allah mengabarkan bahwa wali-Wali-Nya
adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Maka setiap orang yang bertaqwa
adalah wali Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Adziim 2/384).
Al
Hafidz Ibn Hajar: “Yang dimaksud wali Allah adalah orang yang mengerti tentang
Allah, selalu taat kepadaNya dan ikhlas dalam beribadah kepadaNya.” (Fathul
Bari, 13/293).
Imam
At Thahawi mengatakan: “Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling
mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al
Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).
Sedangkan
Imam As Sayaukani mengatakan: “Wali Allah adalah hamba-hamba Allah yang khusus
(Muslim yang taat, pen.), mereka melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan
mengilkhlaskan kepadaNya.” (Qathrul Wali ‘alaa Haditsil Wali).
Dari
definisi yang disebutkan pada ayat di atas serta beberapa definisi yang
disampaikan para ulama maka dapat disimpulkan bahwa wali Allah adalah setiap
hamba Allah yang beriman kepada Allah dan melaksanakan konsekwensi imannya
dengan melakukan ketaatan kepadaNya. Kedekatannya dengan Allah sebanding dengan
kedaan iman yang ada pada dirinya. Dengan demikian kata wali sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kesaktian, karamah maupun kejadian-kejadian luar biasa
lainnya.
Syaikhul
Islam Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrany memaparkan beberapa kaidah penting
berkaitan dengan aqidah ahlus sunnah tentang wali Allah dalam kitab khusus
masalah ini yang berjudul Al Furqon
baina Auliyaair Rahman wa Auliyaais Syaithaan (Pembeda antara Wali Allah
dan Wali Setan). Berikut ringkasan kaidah-kaidah yang disebutkan oleh Syaikhul
Islam dalam buku tersebut:
1.
Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an
dan Sunnah bahwa Allah memiliki wali dan setan juga memiliki wali, dan Allah
membedakan antara Wali-Nya dengan wali setan. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 257:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ
مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran)”
2.
Wali Allah adalah setiap orang yang
beriman, bertaqwa, dan melakukan ketaatan kepadaNya. Sedangkan wali setan
adalah setiap orang kafir dan membangkang dari ajaran Allah, serta orang yang
melakukan kemaksiatan. Allah berfirman mengabarkan tentang Wali-Nya:
أَلَا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati –
jaminan masuk surga – (62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa” (QS: Yunus: 62-63)
Allah
juga berfirman mengabarkan tentang wali setan:
“Sesungguhnya Kami telah jadikan setan-setan itu wali bagi
orang-orang yang
tidak beriman (27)……. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan
sebagai wali (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat
petunjuk (30)”. (QS:
Al A’raf: 27 - 30)
3.
Status kewalian seseorang di sisi Allah
bertingkat-tingkat sebanding dengan tingkat keimanannya dan ketaqwaannya kepada
Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis qudsi, Nabi r
bersabda bahwa Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu maka Aku
menantangnya untuk berperang. Tidak ada amalan hamba dalam rangka mendekatkan
diri kepadaKu melebihi amalan yang Aku wajibkan. Dan(ada) hambaKu senantiasa
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah sampai Aku mencintainya…”
(HR. Al Bukhari 6502).
Sebaliknya,
status kewalian seseorang di sisi setan juga bertingkat-tingkat tergantung pada
kemaksiatan yang dia lakukan dan jauhnya dari Alah. Allah berfirman:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً
فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah, kami jadikan
baginya setan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya”
(QS: Az Zukhruf: 36)
Mereka membutakan dirinya dari
peringatan Allah. Ayat ini semisal dengan firman Allah dalam surat As-Shaf ayat 5 yang artinya:
"ketika mereka menyimpang, maka Allah semakin jauhkan hati mereka.." oleh
karena itu dalam lanjutan ayat di atas Allah berfirman:
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ
أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mereka menyangka bahwa mereka
mendapat petunjuk" (QS: Az Zukhruf: 37).
Demikianlah
keadaan orang yang tersesat, umumnya mereka tiak merasa bahwa dirinya tersesat.
(lih. Tafsir Ibn Katsir, surat
Az Zukhruf: 37).
4.
Wali Allah yang paling mulia adalah para
nabi. Jajaran nabi yang paling mulia adalah yang diangkat sebagai rasul. Kelompok
rasul yang paling mulia adalah yang bergelar ulul azmi (Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan Muhammad Alaihimu shalaatu was salaam). Sedangkan rasul ulul
azmi yang paling mulia adalah Rasulullah Muhammad r.
Allah berfirman, yang artinya:
"(ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan
dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami
telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh" (Al Ahzab: 7)
Allah mengabarkan bahwasanya Dirinya
mengambil perjanjian kepada para Nabi secara umum kemudian kepada Ulul Azmi
– yaitu lima
Nabi yang disebutkan namanya dalam ayat – secara khusus (lih. Tafsir As Sa'di).
Pengkhususan ini mengandung makna bahwa mereka lebih dimuliakan oleh Allah
dibanding yang lainnya. Nabi r
bersabda:
"Saya adalah orang yang pertama kali membuat bumi itu terbelah
(dibangkitkan pada hari kiamat) (HR. Al Bukhari 2411)
Penyimpangan
dari kaidah:
Oleh
karena itu, jika ada orang yang meyakini bahwa ada manusia biasa (yang bukan
nabi) memiliki kedudukannya lebih mulia dibanding para nabi maka dia kafir
karena telah mengingkari banyak ayat al Qur’an.
5.
Allah mengutus Nabi Muhammad r
sebagai pembeda antara wali Allah dengan wali setan. Barangsiapa yang beriman
kepadanya dan mengikuti ajarannya maka dia adalah wali Allah. Sebaliknya siapa
yang menyimpang dari ajarannya maka derajat kewaliannya kepada Allah semakin
rendah sebanding dengan penyimpangannya dari ajaran Nabi r.
Meskipun ada orang yang rajin beribadah akan tetapi jika ibadahnya tidak
didasari dengan ajaran Nabi r
maka dia bukanlah wali Allah. Karena ibadah yang tidak ada tuntunannya adalah
ibadah yang tertolak. Allah berfirman, yang artinya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللّهُ
“Katakanlah: "Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah
maka ikutilah aku (Muhammad r),
niscaya Allah mencintai dirimu.” (Ali Imran 31)
Dalam ayat di atas, Allah mempersyaratkan bagi siapa
saja yang ingin menjadi Wali-Nya (dicintai Allah) maka dia harus mengikuti
ajaran NabiNya r.
Al Hasan Al Bashri mengatakan: “ Ada sekelompok orang yang mengaku cinta
Allah, kemudian Allah menurunkan ayat ini untuk menguji (kebenaran pengakuan)
mereka. (lih. Tafsir At Thabari 3/231).
Semata-mata pengakuan cinta Allah atau pengakuan wali
Allah tidak dapat diterima sampai dibuktikan dalam kehidupan dengan beriman
kepada Nabi Muhammad r
dan mengikuti beliau lahir dan batin.
Penyimpangan
dari kaidah ini:
jika
ada orang yang meyakini bahwa dirinya boleh untuk tidak mengikuti
syariat Muhammad r
yang meliputi seluruh alam maka dia kafir dan menjadi wali setan. Karena tidak
ada satupun jin dan manusia yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad r
yang boleh lepas dari Syari'at Nabi Muhammad r.
Beliau r
bersabda:
"Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada
nabi-nabi yang lainnya, … (salah satunya)… para nabi diutus khusus untuk
umatnya sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia." (HR. Al
Bukhari & Muslim, Umdatul Ahkam hadis ke 38)
Sementara tidak ada sikap menentang kepada Rasulullah r
yang lebih keras melebihi keyakinan bolehnya tidak mengikuti syari'at Nabi r,
sehingga mereka masuk dalam ancaman Allah dalam firmanNya:
“Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min (para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam” (An Nisa’: 115).
6.
Tidak dipersyaratkan bahwa wali Allah
haruslah orang yang maksum (bersih dari dosa) dan tidak pernah melakukan
kesalahan. Karena berbuat salah dan dosa merupakan tabiat yang melekat pada
diri manusia, termasuk orang yang beriman. Allah berfirman menceritakan sifat
orang yang beriman di surat
Ali Imran ayat 135:
وَالَّذِينَ
إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ
يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“orang-orang (beriman) yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
dzalim pada diri sendiri , mereka ingat akan Allah dan memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui”
Allah mengabarkan bahwa orang beriman yang merupakan
wali Allah bukanlah orang yang bersih dari dosa akan tetapi mereka adalah orang
yang masih melakukan perbuatan dosa namun disertai bertaubat dan menyesali
dosa-dosanya.
Rasulullah r
juga bersabda: “Setiap manusia pernah bersalah, dan sebaik-baik orang yang
berbuat salah adalah orang yang bertaubat. (HR. At Turmudzi dan Ibn Majah,
dishahihkan oleh Al Imam Al Albani).
7.
Wali Allah ada dua tingkatan:
Tingkatan
pertama adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan
hanya menunaikan amalan wajib dan berusaha meninggalkan yang haram. Tingkatan
ini disebut Al Muqtashidun (pertengahan) atau ashabul yamiin
(golongan kanan).
Tingkatan
kedua adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan
rajin menunaikan amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib dan senantiasa
berusaha meninggalkan hal-hal yang makruh dan yang haram. Tingkatan ini disebut
As Sabiqun Al Muqorrabun (orang yang bersegera mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua
tingkatan ini Allah sebutkan di surat
Fathir ayat 32:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami (yaitu ummat Muhammad r
)
8.
Perkara-perkara yang mubah, tempat
tinggal, bentuk fisik tubuh bukanlah pembeda antara wali Allah dengan wali
setan. Misalnya pakaian, makanan, negara asal, warna kulit, nasab dan
keturunan, bentuk rambut, dsb., Nabi r
bersabda:
"Orang arab tidaklah lebih mulia diabnding orang yang bukan
arab, tidak pula orang selain arab lebih mulia dibanding orang arab. Orang
putih tidak lebih mulia dibanding orang hitam, tidak pula orang hitam lebih
mulia dibanding orang putih. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah."
(HR. Ahmad 5/411 sanadnya shahih).
Oleh karena itu, tidak mesti bahwa habib
(orang yang diklaim memiliki garis keturunan sampai Nabi Muhammad r)
adalah wali Allah. Abu Thalib, kerabat dekat Nabi r
dan bertemu dan mendapatkan dakwah secara langsung dari Nabi r,
mati dalam keadaan kafir. Menunjukkan bahwa keturunan tidak bisa memberi
pengaruh apapun kepada seseorang jika dirinya menyimpang dari kebenaran.
Demikian pula,
bukanlah persyaratan untuk disebut wali Allah, seseorang itu harus mengenakan
pakaian yang lusuh, tidak boleh makan daging dan harus sayuran, selalu tinggal
di masjid, dan tidak boleh bergaul di masyarakat. Bahkan jika perbuatan menghindari
sesuatu yang mubah diniatkan dalam rangka beribadah kepada Allah, dinilai oleh
ulama sebagai perbuatan bid'ah. Allah berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ
الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" (Al A'raf: 32)
Dalam ayat ini Allah
mengingkari dan membantah orang-orang yang menyusahkan diri dengan mengharamkan
apa yang Allah halalkan untuk dirinya, baik berupa makanan, minuman, pakaian,
bergaul di masyarakat.
9.
Orang kafir, munafiq, dan pelaku
perbuatan kekafiran yang layak untuk dikafirkan meskipun KTP-nya muslim, tidak
mungkin menjadi wali Allah. Karena seseorang hanya bisa menjadi wali Allah jika
dia melakukan ketaatan kepadaNya, sedangkan amal ibadah orang kafir tidak
diterima, sebagaimana Allah berfirman:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً
مَنْثُورً
"Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu
kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan" (QS: Al
Furqon 23)
Ketika Allah menghisab amal baik dan
buruk para hamba, Allah beritakan bahwa orang-orang musyrik tidak mendapatkan
apapun terhadap amal yang mereka lakukan dan yang mereka kira itu
menyelamatkan. (Tafsir Ibn Katsir).
Demikian pula, tidak mungkin ada wali
dari kalangan orang yang amalnya tidak sah dan tidak dinilai sebagai amal.
Misalnya orang gila atau orang yang lagi mengigau ketika tidur (nglindur). Nabi
r
bersabda:
"Pena catatan amal diangkat untuk tiga orang: orang gila yang
hilang akalnya sampai waras, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak
sampai baligh"
(HR. Abu Daud 4401 & An Nasa'I 3445, dishahihkan As Syaikh Al
Albani).
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar