Jun 1
Tanya:
Assalamualaikun ustad. Sy br baca buku syahadatain tulisan Muh Umar Jiau al Haq. Dr baca tulisan itu sy menangkap bhw syahadat perlu dibaca oleh anak yg lahir dlm kelg islam dan dg disaksikan orang krn syahadat hrs diungkapkan bukan keturunan. Ttp ada juga yg berpendpt tdk perlu. Mohon penjelasannya
Pak Godril
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Menyucapkan dua kalimat syahadat di depan saksi, hanya berlaku bagi mereka yang hendak masuk islam.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma menceritakan,
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim Muadz ke Yaman untuk mendakwahkan islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada beliau,
إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Engkau akan mendatangi sekelompok kaum ahli kitab. Karena itu, ajaklah mereka untuk bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah. Jika mereka menerimamu dengan ajakan itu, ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam.... (HR. Bukhari 1395, Muslim 132, Abu Daud 1586 dan yang lainnya)
Kaum yang didatangi Muadz adalah masyarakat beragama nasrani di Yaman.
Demikian pula hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad utusan Allah, dan mereka menegakkan shalat, dst... (HR. Bukhari 25 & Muslim 135).
Makna hadis, bahwa beliau diperintahkan untuk mendakwahi manusia sampai mereka masuk islam dengan ditandai pengucapan dua kalimat syahadat.
Tidak Perlu Mengulang Syahadat
Oleh karena itu, bagi mereka yang telah masuk islam, tidak ada kewajiban untuk menyatakan syahadat di depan saksi atau di depan pemimpin. Diantara dalil yang menunjukkan hal itu,
Pertama, bahwa ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berhasil menaklukkan kota Mekah, banyak masyarakat di hamparan jazirah arab yang masuk islam secara berbondong-bondong. Satu suku semua masuk islam, diwakili oleh pernyataan kepala suku. Allah sebutkan dalam al-Quran,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ( ) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan ( ) dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (QS. an-Nashr: 1-2)
Itu terjadi sekitar tahun 9 dan 10 H. Sehingga tahun itu digelari ‘am al-Wufud (tahun kedatangan tamu).
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan haji wada di akhir tahun 10 H, jumlah kaum muslimin yang ikut haji sangat banyak, lebih dari seratus orang.
Anda bisa simak keterangan selengkapnya di
Sehingga tidak semua orang yang masuk islam, mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan banyak diantara mereka yang belum akrab dengan Nabi, dan beliau mengakui keislaman mereka.
Kedua, ada beberapa sahabat yang lahir di tengah kaum muslimin. Seperti Abdullah bin Zubair, lahir ketika ibunya ikut hijrah ke Madinah. Dan kita tidak mendapatkan adanya riwayat, mereka mengikrarkan dua kalimat syahadat setelah mereka besar.
Karena mereka sudah islam sejak kecil, sehingga mereka tidak butuh mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Anak Kecil Mengikuti Agama Orang Tuanya
Ulama sepakat bahwa anak kecil yang dilahirkan di tengah orang tua yang keduanya muslim, maka agamanya langsung mengikuti orang tuanya. Jika agama ortunya berbeda, maka agamanya mengikuti orang tuanya yang muslim.
Syaikhul Islam mengatakan,
الطفل إذا كان أبواه مسلمين كان مسلماً تبعاً لأبويه باتفاق المسلمين ، وكذلك إذا كانت أمه مسلمة عند جمهور العلماء كأبي حنيفة والشافعي وأحمد
Anak kecil yang kedua orang tuanya muslim, maka dia muslim mengikuti kedua orang tuanya, dengan sepakat kaum muslimin.
Demikian pula ketika ibunya muslimah (sementara ayahnya kafir), dia mengikuti agama ibunya menurut pendapat mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ahmad. (Majmu’ Fatawa, 10/437).
Keterangan lain dinyatakan dalam Ensiklopedi Fiqh,
اتفق الفقهاء على أنه إذا أسلم الأب وله أولاد صغار، أو من في حكمهم - كالمجنون إذا بلغ مجنونا - فإن هؤلاء يحكم بإسلامهم تبعا لأبيهم.
وذهب الجمهور (الحنفية والشافعية والحنابلة) إلى أن العبرة بإسلام أحد الأبوين، أبا كان أو أما
Ulama sepakat bahwa jika ada bapak yang masuk islam dan dia memiliki beberapa anak yang masih kecil atau keluarga yang seperti anak kecil – seperti orang gila – maka mereka dihukumi telah islam mengikuti ayahnya. Sementara mayoritas ulama (Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali) berpendapat bahwa yang menjadi acuan islamnya anak adalah status islamnya salah satu dari orang tuanya. Baik ayahnya maupun ibunya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 4/270).
Anak Kecil Tidak Perlu Mengulang Syahadat
Anak kecil dari keluarga muslim, tidak perlu mengulang syahadatnya ketika baligh, karena mereka sudah muslim sejak kecil.
Syaikhul Islam mengatakan,
واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
Kaum muslimin sepakat bahwa anak kecil ketika menginjak baligh sudah muslim, dia tidak wajib memperbarui syahadatnya setelah baligh. (Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)
Beliau juga mengatakan,
السلف والأئمة متفقون على أن أول ما يُؤمر به العباد الشهادتان ، ومتفقون على أن من فعل ذلك قبل البلوغ لم يؤمر بتجديد ذلك عقب البلوغ
Ulama salaf dan para ulama setelahnya sepakat bahwa perintah pertama yang ditujukan kepada para hamba adalah dua kalimat syahadat. Mereka juga sepakat bahwa siapa yang sudah bersyahadat sebelum baligh, dia tidak diperintahkan untuk mengulang syahadatnya setelah baligh. (Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)
Jika Murtad Setelah Baligh
Sebelum baligh, status agama anak mengikuti agama orang tuanya. Dan jika dia murtad setelah baligh atau ragu dengan islamnya, maka dia wajib bertaubat dengan mengulangi syahadatnya.
Syaikhul Islam mengatakan,
الصغير حكمه في أحكام الدنيا حكم أبويه ؛ لكونه لا يستقل بنفسه ، فإذا بلغ وتكلم بالإسلام أو بالكفر كان حكمه معتبراً بنفسه باتفاق المسلمين ، فلو كان أبواه يهوداً أو نصارى فأسلم كان من المسلمين باتفاق المسلمين ، ولو كانوا مسلمين فكفر كان كافراً باتفاق المسلمين
Anak kecil, hukumnya di dunia sama dengan hukum orang tuanya. Karena dia tidak berdiri sendiri. Jika dia baligh, kemudian memilih islam atau kakfiran, maka hukumnya kembali kepada pilihannya dengan sepakat kaum muslimin. Jika kedua orang tuanya yahudi atau nasrani, kemudian si anak masuk islam, maka dia menjadi muslim, dengan sepakat kaum muslimin. Sebaliknya, jika kedua orang tuanya muslim, kemudian anaknya memilih kafir setelah baligh, maka dia kafir dengan sepakat kaum muslimin. (al-Fatawa al-Kubro,
1/170).
Pada 1 Juni 2015 10.43, Ammi Baits <ammibaits@gmail.com> menulis:
Ber-Cadar, Istri Teroris?Bagaimana membantah orang liberal yang menyebut cadar identik dengan istri teroris?.Jawab:Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,Sebenarnya itu isu kuno yang terus didaur ulang. Kita layak salut, mereka begitu istiqamah dalam menyudutkan islam. Secara sederhana, sebenarnya isu semacam ini bersumber dari keterbatasan mereka dalam membedakan antara oknum dan agama oknum.Memang benar, ada beberapa umat islam yang terlibat tindakan teroris sementara istrinya bercadar. Namun siapapun sepakat, kesalahan oknum tidak bisa dikembalikan kepada ajaran agama.Kami mengira, dunia tidak menyalahkan masyarakat budha dan orang gundul, gara-gara aksi teror dan pembantaian besar yang dipelopori Ashin Wirathu. Kita juga tidak pernah mendengar ada media yang menyudutkan Katholik, gara-gara ulah Timothy McVeigh dalam aksi bom di Oklahoma City yang menewaskan 168 orang.Cadar DigugatAktivis liberal, selalu berjuang untuk meneriakkan kebebasan. Sekalipun dengan wajah yang beraneka ragam. Salah satu proyek besarnya, menjauhkan wanita dari pakaian yang Syar'i.Bagi mereka, itu belenggu. Membatasi ruang gerak wanita, dalam berinteraksi. Menekan kesempatan wanita untuk berprestasi.Meskipun sebenarnya semua ini sama sekali tidak ada hubungannya. Justru muslimah bercadar lebih banyak kita jumpai di komunitas mahasiswi ilmu eksak di universitas bonafit, dari pada mahasiswi yang kuliah di IAIN. Di UGM, untuk menjumpai wanita berjilbab besar di Fakultas kedokteran, farmasi, mipa, teknik, jauh lebih mudah dibandingkan ketika anda mencarinya di fakultas filsafat dan sastra.Namun ada satu catatan yang penting untuk kita garis bawahi dalam kasus ini. Bahwa sebenarnya orang liberal sendiri tidak bisa menerima kebebasan itu seutuhnya. Akibatnya mereka masih menggunakan standar bias. Mereka merasa risih dengan keberadaan cadar dan hijab syar’i. Jika mereka komitmen dengan prinsip kebebasan, apa urusan mereka dengan wanita bercadar? Mau bercadar, tidak bercadar, ngapain dia koar-koar?Dengan menerapkan teori mereka, berarti kebebasan mutlak itu sendiri hakekatnya tidak ada. Karena semua orang akan terikat dengan bagaimana cara dia memandang. Sampaipun para penghasung kebebasan, mereka tidak pernah membiarkan secara bebas, masyarakat yang komitmen dengan ajaran Sunah. Mereka komentari, mereka kritik, sampai harus buang-buang waktu untuk membuat novel, hingga film.Sama-sama BebasSebenarnya islam sangat memberikan kebebasan bagi penganutnya. Aturan yang Allah turunkan, sama sekali tidak menjadi jerat bagi mereka. Aturan itu jusru membimbing umat islam untuk memilih yang baik. Sehingga umat islam tidak bebas memilih yang jahat. Sebab tujuan hidup muslim adalah menjadi hamba yang baik.Ini berbeda dengan kebebasan model liberal. Mereka tidak memiliki batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik, dan mana yang jahat. Semua dikembalikan kepada spekulasi akal dan dinamika sosial. Aturan agama harus dinihilkan, karena ini mengganggu spekulasi akal itu.Cadar Budaya IslamBerbicara budaya islam, berarti berbicara aturan yang berlaku di masa islam didakwahkan. Di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan generasi setelahnya.Anda bisa simak penuturan para ulama tentang tradisi wanita di masa silam,Al-Hafidz Ibn Hajar (wafat 852 H) mengatakan,استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والأسواق والأسفار منتقبات ؛ لئلا يراهن الرجالSudah menjadi kebiasaan, bolehnya wanita keluar menuju masjid, pasar dan melakukan perjalanan dengan memakai cadar, agar mereka tidak dilihat para lelaki. (Fathul Bari, 9/337)Di tempat lain, beliau juga mengatakan,ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الأجانبTelah menjadi kebiasaan wanita sejak dulu dan sekarang, mereka menutupi wajah mereka (bercadar) sehingga tidak dilihat lelaki lain. (Fathul Bari, 9/324)Al-Ghazali (wafat 505 H) dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan,لم يزل الرجال على ممر الأزمان مكشوفي الوجوه ، والنساء يخرجن متنقباتSejak dulu, berlangsung dari zaman ke zaman, para lelaki tidak menutup wajah dan para wanita keluar dengan bercadar. (Ihya Ulumiddin, 2/53)Dalam matan Uqud al Lajjiin – karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani - , beliau menyatakan,فيجب علي المرأة إذا أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من أعين الناظرين“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak keluar rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya agar tidak terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”. (Syarh Uqud al Lajjiin, hlm. 17)Bahkan Syaikh Nawawi al-Bantani menilainya sebagai ijma’ amali (kesepakatan secara praktek nyata) bahwa muslimah itu bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau mengatakan,إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam, pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”. (Syarh Uqud al Lajjiin, hlm. 18)Jika anda tidak siap melaksanakan sunah cadar, berikan kebebasan bagi mereka yang ingin menerapkan sunah bercadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar