Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du,
Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli. Kita bahas kaidah keenam.
Kaidah keenam, terkait masalah keadilan antara kedua belah pihak, penjual dan pembeli
Kaidah menyatakan,
الأصل مراعاة مصلحة الطرفين ورفع الضرر عنهما
Pada prinsipnya, wajib memperhatikan hak kedua belah pihak dan meniadakan setiap yang merugikan bagi keduanya.
Keterangan:
Salah satu prinsip besar yang diajarkan dalam islam adalah prinsip keadilan. Allah tegaskan dalam al-Quran, bahwa semua Rasul diutus dengan membawa al-mizan (risalah keadalian).
Allah berfirman,
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan .." (QS. Al-Hadid: 25).
Allah juga menegaskan bahwa Dia hanya memerintahkan manusia untuk bertindak sesuai prinsip keadilan. Allah berfirman,
إن الله يأمر بالعدل والإحسان
"Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat baik ..." (QS. An-Nahl: 90)
Keadilan yang dipelihara dalam islam, tidak hanya dalam masalah hukum pidana, termasuk perdata, bahkan dalam semua kehidupan. Tak terkecuali dalam masalah muamalah.
Bisanya Hanya Menuntut Hak
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain, terkadang ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak, tapi malas dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan dengan tathfif, orangnya disebut muthaffif.
Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran, melalui firman-Nya,
ويل للمطففين ( ) الذين إذا اكتالوا على الناس يستوفون ( ) وإذا كالوهم أو وزنوهم يخسرون
"Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi ketika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. "(QS. Al-Mutaffifin: 1 - 3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat mereka, selanjutnya Allah memberikan ancaman keras kepada mereka. Allah ingatkan bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan pembalasan setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat muta'adi. Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus jual beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak dan kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak, namun melalaikan kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif di ayat ini. (Simak Tafsir As-Sa'di, hal. 915).
Islam Menjaga Keseimbangan Hak dalam Muamalah
Dalam Muamalah maliyah (terkait harta), tidak dapat ada posisi yang dia selalu untung dan tidak ada resiko kerugian. Karena itulah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan batasan, bahwa setiap peluang keuntungan harus diimbangi dengan resiko kerugian.
Ada beberapa hadis yang menyebutkan hal ini. diantaranya,
Pertama, hadis dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau mengatakan,
أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قضى أن الخراج بالضمان
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan, adanya keuntungan karena menanggung resiko kerugian. (HR. Ahmad 24956, Nasai 4507, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kedua , hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma,
نهى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عن ربح ما لم يضمن
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang keuntungan yang tidak ada tanggungan resiko kerugian. (HR. Ahmad 6787, Nasai 4647 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Dalam prakteknya,
[1] Tidak bisa ada jual beli, sementara salah satu di posisi selalu aman dari kerugian. Seperti menjual barang yang belum diserah terimakan. Sehingga posisi penjual sama sekali tidak menanggunng resiko terhadap barang.
[2] Tidak bisa ada investasi, sementara pemodal di posisi aman. Hanya bisa untung atau minimal modal kembali. Sementara mudharib (pelaku usaha) berkewajiban menanggung ganti rugi jika usahanya mengalami kerugian.
[3] Demikian pula dalam transaksi kafalah utang. Penjamin tidak dapat meminta pembayaran. Karena dia di posisi selalu untung. Jika orang yang ditanggung ini sesuai janjinya, maka dia untung. Dan jika tidak sesuai janjinya, maka dia punya jaminan upah yang dibayarkan untuk melunasi utangnya.
Lain halnya dengan transaksi sosial, yang memang tujuan awalnya untuk beramal dan bukan mencari keuntungan. Sehingga islam mengajarkan, orang yang hendak membantu, memang harus siap berkorban. Sekalipun ada resiko yang harus dia terima. Seperti memberi utang, meminjamkan barang, membantu orang lain, yang itu semua diganti dengan janji pahala.
Hak Khiyar: Perlindungan Terhadap Konsumen
Islam menjaga hak kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Karena itu, dalam transaksi mereka dipastikan tidak ada paksaan dan semua murni dilakukan atas kesadaran. Islam mengatur ini dengan adanya hak khiyar. Hak untuk memilih, antara melanjutkan transaksi ataukah membatalkannya.
Ada banyak macam khiyar, dan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi 4:
Pertama , Khiyar Majlis
Khiyar ini wajib ada dalam setiap jual beli. Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang orang yang akad secara sengaja menghindari khiyar majlis.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
المتبايعان بالخيار ما لم يفترقا إلا أن تكون صفقة خيار ولا يحل له أن يفارق صاحبه خشية أن يستقيله
"Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah, kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang hak khiyar sampai setelah berpisah. Tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya. "(HR. Abu Daud 3456, Nasai. 4488. dihasankan al-Hafidz Abu Thohir).
Waktu khiyar majlis
1. Batasan yang diberikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sampai mereka berpisah.
2. Bentuk perpisahan berbeda-beda tergantung fasilitas transaksinya
3. Jual beli online masa khiyar majelisnya berbeda dengan jual beli offline
Kedua , Khiyar Syarat
Kedua pelaku akad atau salah satunya mengajukan syarat khiyar selama batas tertentu.
Hakekat khiyar syarat adalah perpanjangan khiyar majlis, berdasarkan kesepakatan.
Dalil Khiyar Syarat
Hadis dari Amr bin Auf, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
المسلمون على شروطهم إلا شرط حرم حلالا أو شرط أحل حراما
"Kaum muslimin harus mengikuti syarat (kesepakatan) diantara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (Abu Daud 3596, Baihaqi dalam as-Sughra 2088 dan dishahihkan al-Albani)
Aturan berlaku selama masa khiyar
1. Selama rentang waktu khiyar, pembeli dapat memanfaatkan barang
2. Jika terjadi resiko barang, pembeli yang menanggung resiko
3. Ketika masa khiyar berakhir maka akad menjadi lazim (mengikat)
Ketiga , Khiyar Aib
Batasan Aib yang memungkinkan adanya khiyar: aib yang mengurangi nilai barang.
(Muqadimah Muamalat maliyah, Dr. As-Syubaili)
Harus Disebutkan aibnya
Jika barang memiliki aib yang mengurangi harganya, wajib dia jelaskan. Jika tidak, maka terhitung menipu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk gandum, lalu beliau memasukkan tangannya, ternyata ada yang basah. Kemudian beliau bersabda,
أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس, من غش فليس مني
Mengapa tidak kamu taruh di atas, biar dilihat orang. Siapa yang menipu maka dia bukan golonganku. (Muslim 295)
Dalam hadis lain, dari Uqban bin Amir, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
المسلم أخو المسلم, ولا يحل لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب إلا بينه له
Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi muslim yang menjual barang kepada saudaranya sementara di sana ada aibnya, kecuali dia harus menjelaskannya. (Ibnu Majah 2331 dan dishahihkan al-Albani).
Khiyar Aib adalah Hak Pembali
Jika pembeli menemukan aib dalam barang, dia punya 2 pilihan hak:
[1] Mengembalikan barang itu dan meminta uangnya
[2] Tidak mengembalikan barang, namun dia berhak meminta al-Arsy [ الأرش]
Al-Arsy adalah selisih harga antara barang yang cacat dengan barang yang tidak cacat.
Jual Beli dengan Syarat Lepas Tangan
Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual bisa bebas dengan syarat ini? Dapatkah pembeli mengajukan hak khiyar?
Ada dua kondisi dalam hal ini
[1] Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat jelas, maka penjual bebas dari cacat ini
[2] Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan dari semua aib, hukum yang berlaku ada 2:
[A] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan. Karena pembeli telah menerima
[B] Cacat yang diketahui penjual, tidak gugur darinya, karena ini penipuan
Keempat , Khiyar Ghuben
Ghuben [ الغبن] Secara bahasa artinya kurang. Sementara dalam jual beli, ghuben [ الغبن] Artinya tindakan menipu, yang mengurangi nilai barang, baik dilakukan penjual atau pembeli. (Keteragan Ibnu Nujaim - dinukil dari al-Mausuah al-Fiqhiyah)
Khiyar ini melindungi hak penjual atau pembeli karena tidak tahu kondisi barang atau proses transaksi.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفسه
Tidak halal memakan harta orang lain, kecuali dengan kerelaan pemiliknya. (Ad-Daruquthni 2924).
Ibnu Qudamah (al-Mughni, 4/92) menyebutkan, ada 3 bentuk transaksi yang diberi hak khiyar karena ghuben,
[1] Talaqqi ar-Rukban
Mengundang petani sebelum transaksi masuk ke pasar, sementara dia buta harga pasar.
[2] Bai 'Najasy
Berpura-pura menawar atau memuji barang agar harga naik, atau sebaliknya. Dengan maksud menipu penjual atau pembeli
[3] Bai 'Mustarsil
Mustarsil artinya dilepas. Dalam jual beli, bai 'mustarsil berarti menjual barang tanpa tahu harga, dan dilepas sesuai harga yang berlaku di masyarakat. Atau membeli tanpa tahu harga, dan pasrah pada penjual.
Jika ada selisih harga yang tidak wajar, pihak yang dirugikan memiliki hak khiyar atau mendapatkan ganti atas kerugian.
Demikian, semoga bermanfaat ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar