Apakah benar ada wali kutub? Siapa itu wali kutub? Katanya bisa mengendalikan cuaca..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du,
Istilah Wali kutub, wali ghauts, tidak pernah ada dalam islam. Karena segala yang ghaib pasti telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada peluang bagi manusia untuk mengetahui hal ghaib selain melalui penjelasan Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Istilah wali qutub dan wali ghauts hanya ada dalam mitos ajaran sufi. Lalu apa itu wali qutub menurut mereka?
Menurut aqidah sufi, wali adalah sosok yang ditunjuk oleh Allah dengan berbagai keistimewaan yang dia miliki. Terlepas dari apapun amalnya, sifatnya dan karakternya. Orang bisa saja jadi wali, sekalipun dia tidak memliki karakter layaknya orang soleh.
Mereka juga mengakui bahwa ada wali yang bisa mengatur alam. Bahkan ada yang bisa menciptakan dengan ucapan: Kun, fayakun. Rinciannya,
§ Empat wali bertugas menahan alam semesta. Mereka ada di empat penjuru arah. Yang mereka sebut dengan wali autad.
§ Tujuh wali, yang masing-masing ada di tujuh benua. Mereka sebut wali abdal. Disebut wali abdal, dari kata badal yang artinya pengganti. Karena jika ada satu yang mati maka lainnya menjadi penggantinya.
§ Wali yang mengatur setiap iklim dan cuaca. Di Mesir diyakini ada 30, di Syam, Iraq juga demikian. Dan masing-masing telah ditunjuk sebagai wakil untuk menangani suasana tertentu.
§ Dan sekian banyak wali yang mengatur iklim dan cuaca itu, mereka dipimpin oleh satu wali, yang disebut wali kutub akbar atau wali ghauts. Inilah yang mengatur semua urusan kejaraan (wali). Karena dalam dunia wali itu ada kerajaan bathin. Ada aturan dan keputusan.
(Mausu’ah al-Firaq, ad-Durar as-Saniyah, 10/15)
Konsep wali menurut pemahaman sufi semacam ini, diambil dari filsafat yunani masa silam, bahwa ada manusia dewa yang merupakan gabungan dari unsur lahut (ketuhanan) dan nasut (manusia).
Wali dalam Islam
Islam juga mengajarkan konsep wali. Hanya saja, berbeda dengan konsep wali seperti yang dipahami orang sufi. Konsep wali yang diajarkan dalam islam telah Allah sebutkan dalam al-Quran, pada firman-Nya,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ، الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ( ) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 – 63)
Yang disebut wali Allah dalam ayat ini adalah semua orang yang beriman dan bertqwa. Sekalipun dia sama sekali tidak memiliki kesaktian. Tidak tahu hal yang ghaib, tidak mampu menyembuhkan orang sakit, apalagi kemampuan mengendalikan alam semesta.
Ibnu Katsir mengatakan,
يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا
Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga semua orang yang bertaqwa adalah wali Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/278).
Sehingga untuk bisa menjadi wali Allah, manusia harus berjuang melakukan ketaatan agar dicintai Allah. Dengan cara, melakukan yang wajib, kemudian berusaha merutinkan yang sunah.
Dalam hadis Qudsi, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya.” (HR. Bukhari 6502)
Antara Karamah dan Istiqamah
Karamah sifatnya hibah dari Allah, dan tidak bisa diupayakan manusia. Sementara istiqamah adalah tugas yang dibebankan Allah kepada umat manusia. Karena itu, seharusnya yang dipikirkan manusia adalah bagaimana menjadi manusia yang istiqamah, bukan menjadi orang yang punya karamah.
Abu Ali al-Jauzajani mengatakan,
كُنْ طَالِبًا لِلِاسْتِقَامَةِ، لَا طَالِبًا لِلْكَرَامَةِ، فَإِنَّ نَفْسَكَ مُتَحَرِّكَةٌ فِي طَلَبِ الْكَرَامَةِ، وَرَبُّكَ يَطْلُبُ مِنْكَ الِاسْتِقَامَةَ
Jadilah orang yang menjaga istiqamah, bukan pencari karamah. Karena jiwamu selalu ingi mencari karamah, sementara Rabmu menuntutmu untuk istiqamah. (Syarh Aqidah Thahawiyah, hlm. 330)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar