(Oleh: Armen Halim Naro)
Seorang
muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya,
karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat
berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan
kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat
berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam:
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak
diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang
telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga
Khulafa‘ Ar Rasyidin radhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu
'alaihi wasallam wafat.
Banyak
hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari
kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang
menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya.
Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala
orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan tetapi
–dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya
para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang
menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, –sangat disayangkan– masjid pada
masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari
kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh
Allâh Ta'âla–.
Bahkan
kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan
orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca al-Fatihah saja tidak tepat,
apalagi menjawab pertanyaan tentang sebuah hukum dalam agama. Mereka tidaklah
maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak
langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak
menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di
sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak
memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh
karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur
jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan
sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah
dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram,
atau istrinya ber-tabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan
kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita
sebutkan di atas”. [3]
Berikut ini,
akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab
berkaitan dengannya.
Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian
ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi
penilaiannya ialah: [4]
|
Jika
seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika
tuan rumah layak menjadi imam.
|
|
Penguasa
lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju
menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh
penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
|
|
Kefasihan dan
kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan
bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu.
Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Yang
(berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.[5] |
|
Seseorang
tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam
hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
Tiga
golongan yang tidak terangkat shalat mereka
lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya... [6] Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
”Dhahir
hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang
yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang
lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang
layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
Kebanyakan,
kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari
permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian,
karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang membenci
orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan
untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya,
kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
(Jika)
tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama,
bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab
atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya
lebih besar dari pahala melakukannya.[7]
Berkata Ahmad dan Ishaq:
”Jika yang
membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka,
hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8]
|
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Seringkali
kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah
makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang
sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jâma‘a mâlaw wa
‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari
arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.
Ketiga: Mentakhfif shalat.
Yaitu
mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya.
Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan
yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak
mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
Di antara
nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallâhu'anhu :
Jika salah
seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh
karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau
shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu,
hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga
kepada keinginan makmum.[12]
Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Ketika shaf
dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana
Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
Dari Nu‘man
bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan
beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah
memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat).
Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya
maju dari shaf. Beliaupun berkata:
Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu
kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia
mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia
langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat
dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus
yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin
Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah
salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang kami
menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau
lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka
dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh
karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu,
”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau
ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali
mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata
Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para
jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man
radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf
dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi,
jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan
syari’at. Diantaranya:
|
Membiarkan
celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah
shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan
luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan
celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya
Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya
Allâh akan memutus (urusan)nya.”[17].
|
|
Perpecahan
hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
|
|
Hilangnya
pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya
sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam: |
Kelima:
Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
Hendaklah
yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
Hadits yang
menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu:
Janganlah
shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah
menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
”Jika orang
yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa,
pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada
melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah
seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad
berkata:
”Imam
(adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di
belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud.
Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi,
hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun
mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar
mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta
pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya,
menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi
perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun
memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya.
Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan
shalatnya.”[25]
Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.
HR Muslim
no. 436.
|
|
Kitab
Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
|
|
Kitab
Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
|
|
Ibid,
halaman 1/151.
|
|
HR Muslim
2/133. Lihat Irwa‘ Ghalil 2/256-257.
|
|
HR Ibnu
Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,”Sanad ini shahih, dan
rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah,
Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,”Dalam bab
ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.”
(Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
|
|
Ta‘liqatur
Radhiyah, halaman 1/337-338.
|
|
Lihat
Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39.
|
|
Sebagaimana
yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at
keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka
bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid
menjadi riuh.
Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar. |
|
Shalatul
Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
|
|
HR
Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
|
|
Shalatul
Jama’ah, halaman 166-167.
|
|
HR Muslim
no. 436.
|
|
Lihat
Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
|
|
HR Abu
Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah
Shahihah, no. 31.
|
|
HR Bukhari
no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan,
halaman 207.
|
|
HR Abu
Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
|
|
HR Ahmad
dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
|
|
Lihat
Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
|
|
HR Muslim
no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
|
|
Pembatas
yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira
satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
|
|
HR Muslim
no. 260 dan yang lain.
|
|
Fathul
Bari, 1/572.
|
|
HR Bukhari
1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
|
|
Kitab
Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
|
|
“Al-Mulakhkhashul
Fiqhi” Hal. (159)
|
(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII)
Mendahului Imam Membatalkan Shalat
November 15, 2011
Makmum Mendahului Imam Waktu Shalat Jamaah
Saya mau tanya. Ada sebagian makmum yang shalatn jamaahya tergesa-gesa, sehingga sebagian gerakan shalatnya mendahului imam. Apa hukum makmum mendahului imam? Terima kasih.Abdullah Yogya
Jawaban:
Peringatan Agar Tidak Mendahului Gerakan Imam
Alhamdulillah hamdan thayyiban katsiran amma ba’duAllah mensyariatkan pengangkatan imam di dalam shalat untuk ditaati oleh makmum, artinya gerakan atau praktik amalan makmum harus mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya, juga tidak beriringan dengannya, akan tetapi melakukan gerakan setelah imam melakukannya terlebih dahulu. Seorang makmum tidak bertakbir sampai imam melakukan takbir, tidak juga rukuk sampai imam terlebih dahulu rukuk, tidak sujud samapi imam sujud, dan tidak pula mengangkat kepalanya dari sujud sampai imam terlebih dahulu mengangkat kepalanya.
Para sahabat nabi radhiallahu’anhum telah memahami petunjuk nubuwah ini. Mereka pun mempraktikkannya dengan cara yang terbaik. Barra bin ‘Azib radhiallahu’anhu menyatakan, “Kami dahulu shalat di belakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila nabi mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah‘ maka tidak ada seorang pun di antara kami yang menyondongkan punggungnya sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan dahinya di tanah.” (Mutafaq ‘alaihi).
Diriwayatkan dari Amr bin Harits, “Aku pernah shalat subuh di belakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar nabi membaca ‘Fala uqsimu bilkhunnas. Aljawaril kunnas‘. Pada saat itu tidak ada seorang pun di antara kami yang menyondongkan punggungnya samapi nabi sujud dengan sempurna.” (HR. Muslim).
Pada saat ini, seringkali kita jumpai orang-orang di masjid yang bergerak berbarengan dengan imam atau bahkan mendahului imam pada saat menyondongkan badan, ketika hendak rukuk, juga turun menuju tempat sujud, atau pada saat bangun dari keadaan tersebut. Tentu saja keadaan yang demikian perlu diluruskan dengan nasihat, pengajaran, dan pengarahan secara intens.
Tentunya seorang makmum menyadari dan mengetahui bahwasanya ia tidak diperkenankan lebih dulu selesai shalat dibanding imam. Lalu untuk apa ia berusaha mendahului imam?
Perbuatan mereka itu tentu tidak ada tujuan apa pun kecuali terpengaruh godaan setan yang memperindah perbuatan tersebut agar pahala ibadah mereka berkurang. Abu Hurairah mengatakan, “Penyebab orang-orang yang mengangkat atau menundukkan kepala mereka lebih dahulu dari imam itu karena ubun-ubunnya di tangan setan.” (HR. Malik).
Bagi orang-orang yang melakukan perbuatan demikian juga terpadat peringatan keras dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah takut salah seorang di antara kalian, apabila ia mengangkat kepalanya sebelum imam melakukannya, Allah akan menjadikan kepalanya kepala keledai atau suara keledai atau bentuk fisik yang menyerupai keledai. (Mutafaq ‘alaihi).
Kita memohon kepada Allah agar mengaruniakan pemahaman terhadap agama dan menasihati hamba-hambanya Allah yang lain. Juga menganugerahkan kita agar mengikuti sunah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sumber: http://www.sahab.net/home/?p=1
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Halo,
BalasHapusApakah Anda secara finansial turun? adalah bisnis Anda menangis untuk kebangkitan keuangan, telah Anda mencari pinjaman di bank dan tangan pemberi pinjaman yang salah dan Anda di mana menolak? mencari lagi, beberapa pemberi pinjaman di sini tidak bersedia untuk membantu Anda, semua yang mereka inginkan adalah untuk merobek Anda uang Anda sulit diperoleh, menipu warga yang tidak bersalah dan meningkatkan rasa sakit mereka. Kami adalah pemberi pinjaman dapat diandalkan dan kami memulai program pinjaman ini untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan kesempatan bagi yang kurang istimewa untuk memungkinkan mereka membangun sendiri dan menghidupkan kembali bisnis mereka. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi kami melalui email: anitacharlesqualityloanfirm@gmail.com dan mengisi formulir di bawah ini.
Peminjam DATA.
1) Nama Lengkap: ......... 2) Negara: ...... 3) Alamat: ......... 4) Jenis kelamin: ..................
5) Status Pernikahan: ... ..... 6) Pekerjaan: .......... Nomor 7) Telepon: ........................... 8) Saat ini posisi di tempat kerja: .... ............ 9) Monthlyincome ...... ...................
10) Pinjaman Durasi: ............... 11) Tujuan Pinjaman: ............... 12) Agama: ............
13) Tanggal lahir: ........................
silahkan mengajukan permohonan perusahaan yang sah, keberhasilan Anda adalah tujuan kami.