Benarkah syiah datang pertama d indonesia sebelum suni? Mohon dijelaskan .. Trim s
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, amma ba'du,
Ada banyak versi sejarah tentang kehadiran islam di Indonesia. Beberapa pengamat sejarah Indonesia menyimpulkan, setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Secara singkat bisa kita sebutan sebagai berikut,
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, bertepatan dengan abad pertama Hijriah. Ini merupakan pendapat Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih akrab dengan nama pena Buya Hamka.
Hamka mendasari pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii. Menurutnya, mazhab Syafii berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah.
Fakta lainnya yang tidak dapat diabaikan, orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Dugaan kuat, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina yang bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu, Residen Poortman.
Pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dia juga melakukan penelitian terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Termasuk naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia.
Hasil penelitiannya itu disimpan dengan deskripsi Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti "Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor." Sekarang disimpan di Gedung Arsip Nasional Belanda di Den Haag, Belanda. Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman.
Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ini dikenal sebagai kesimpulan Snouck Hurgronje. Yang sebenarnya dia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang ahli sejarah dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.
Pendapat ini dibenarkan oleh JP Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan raja-raja Pasai, Aceh. Moquette secara khusus meneliti bentuk nisan kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat.
Keempat, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh.
Pendapat ini merupakan sanggahan SQ Fatimi - salah satu peneliti sejarah budaya asli Malaysia - terhadap pendapat ketiga. Menurut Fatimi, nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh.
Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemukan dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu.
Kelima, Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Hindu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang.
Pendapat ini sebenarnya koreksi dari GE Marrison terhadap pendapat JP Moquette tentang Gujarat. Marrison berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. tidak jauh dari peristiwa penyerbuan Bagdad oleh Mongol. Imbas penyerbuan tersebut memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Keenam, pendapat ini dikemukakan oleh Husain Jayaningrat (Hoesein Djajadiningrat).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajadiningrat mendasari pendapatnya dengan keberadaan Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia yang menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud (bersatunya raga hamba dan tuhan) Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari tanah Persia. Meskipun tentang kisah Siti Jenar, belum disepakati ahli sejarah Nusantara.
(Disarikan dari paper: Masuknya Islam ke Indonesia, oleh Rimbun Natamarga - Civitas Academik Universitas Padjadjaran)
Kritik Untuk Opini Husain Jayaningrat
Sebelum kita berikan catatan untuk semua pemaparan di atas, terlebih dahulu kita akan secara khusus memberikan kritik untuk pendapat Husain Jayaningrat.
Persia sampai abad ke-15 M berakidah ahlus sunah. Hanya saja, akidah sufi sangat menjamur. Al-Hallaj, tokoh sufi yang memprakarsai aqidah wihdatul wujud, dipancung pemerintah Abbasiyah atas rekomendasi dari ulama ahlus sunah. Aksi pemancungan itu membuktikan ahlus sunah masih sangat dominan. Sampai bisa mempengaruhi keputusan pemerintah. Ini alasan pertama.
Alasan kedua, Daulah Shafawiyah yang merupakan founding father negara Iran, berdiri tahun 1501. Inilah Daulah yang mengontrol dan mengayomi keberadaan syiah sepanjang perjalanannya. Melanjutkan perjuangan Daulah Syiah Bani Ubaid di Mesir, yang ditaklukkan oleh Salahudin Al-Ayubi. (Tanggal ad-Daulah ash-Shafawiyah fi Iran, Hal: 38)
Alasan ketiga, fenomena Siti Jenar justru membuktikan bahwa aqidah wihdatul wujud yang dia bawa adalah akidah sempalan. Dengan bukti, pengingkaran para tokoh agama saat itu. Posisi akidah ini menyalahi pakem dakwah yang diemban para wali songo. Singkat kata, itu adalah keyakinan infiltrasi di masyarakat yang sebelumnya berakidah ahlus sunah.
Alasan keempat, kita kesulitan menemukan adanya kesamaan budaya dan bahasa di tanah air dengan budaya dan bahasa persia. Sementara banyak bahasa serapan di masyarakat kita yang itu merupakan serapan dari bahasa arab, bukan bahasa persia. Demikian pula fikih utama syiah, seperti nikah mut'ah, shalat tanpa sedekap, adzan dengan tambahan syahadat bahwa Ali bin Abi Thalib wali Allah, mencaci maki para sahabat, dst. tidak kita jumpai di masyarakat. Bahkan masyarakat Indonesia terhadap semua ajaran itu.
Alasan kelima, sebatas keberadaan upacara 10 Muharram, yang itu adalah hari kematian Husain Radhiyallahu 'anhu, bukan dalil adanya pengaruh syiah. Karena kesedihan atas wafatnya Husain, milik seluruh kaum muslimin yang mencintai sahabat dan ahlul bait. Semua kaum muslimin pecinta sahabat dan anggota bait, turut bersedih atas peristiwa itu. Sekalipun syiah berusaha untuk menggagahi dan mengklaim sebagai milik pribadinya.
Selanjutnya kita akan memberikan beberapa catatan dari pemaparan di atas,
Pertama, Kita tidak bisa memastikan manakah diantara pendapat itu yang bisa diyakini secara pasti. Semua masih berdasarkan prediksi dan teori. Karena sejarah tidak sama dengan realita. Sejarah hanyalah penelitian untuk mendekati realita masa silam. Keberadaan artefak maupun pengaruh budaya, hanyalah indikator untuk mendekati realita itu.
Kedua, masing-masing pendapat memiliki konsekuensi. Terutama yang terkait dengan ajaran dan budaya masyarakat. Bila kita mengakui pendapat Buya Hamka, berarti bangsa Indonesia telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup. Ketika para tabi'in banyak-banyak belajar agama kepada para sahabat, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu.
Atau ketika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Berarti kita memastikan para pemeluk Islam pemula di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah Sufi.
Termasuk yang sedang digencarkan para tokoh syiah saat ini, syiah di Indonesia seumur islam, untuk meyakinkan masyarakat, bahwa nenek moyang mereka adalah syiah.
Ketiga, sudah saatnya kita berusaha untuk selalu waspada terhadap klaim sejarah, yang menjadi lahan subur untuk meniupkan berbagai kepentingan. Terutama syiah, yang mengambil banyak peran mempermainkan sejarah islam. Barangkali Anda pernah mendengar pernyataan Kang Jalal, yang mengaku bahwa Imam Syafii sebenarnya tokoh Syiah. Sekalipun Anda layak tertawa dengan pernyataannya, ini menunjukkan betapa syahwat mereka dalam mengelabuhi sejarah.
Keempat, terlepas dari semua klaim sejarah kedatangan islam di Indonesia, ini sama sekali bukan pembenar suatu ajaran tertetu.
Andai ajaran pertama yang masuk ke Indonesia adalah ajaran Sufi al-Hallaj seperti yang diperjuangkan Siti Jenar, tentu Anda tidak akan sepakat bahwa ajaran ini bisa dibenarkan. Masalah sejarah kedatangan islam, hanya masalah siapa yang datang pertama kali di Indonesia. Tidak ada hubungannya dengan status kebenaran ajaran itu. Karena kita tahu, Indonesia bukan tanah yang maksum dari kehadiran ajaran sesat.
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar