Bismillah was shalatu was salamu 'ala rasulillah, amma ba'du,
Para ulama menegaskan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat sah shalat. Allah berfirman,
ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره
Dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (QS. al-Baqarah: 150).
Oleh karena itu, orang yang tidak mengetahui arah kiblat maka wajib berusaha untuk mencari tahu arah kiblat. Hal ini bisa dilakukan dengan bebecara cara:
1. Bertanya kepada penduduk setempat atau orang yang tahu.
2. Jika tidak mungkin untuk bertanya maka bisa menggunakan tanda-tanda alam. Seperti sinar matahari, arah angin, dsb.
Dan jika dua cara di atas tidak memungkinkan maka shalat menghadap ke arah manapun berdasarkan dugaan kuat bahwasanya arah itu adalah kiblat.
Jika ternyata arah yang dia pilih itu salah, artinya tidak menghadap kiblat - padahal dia telah berusaha mencari arah kiblat semampunya - apakah shalatnya harus diulang?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,
Pertama , shalatnya wajib diulangi secara mutlak. Ini pendapat madzhab Syafiiyah.
Pada pembahasan tentang aturan menghadap kiblat ketika shalat, An-Nawawi mengatakan,
ومن صلى بالاجتهاد فتيقن الخطأ قضى في الأظهر, فلو تيقنه فيها وجب استئنافها
Orang yang shalat (ke arah kiblat) berdasarkan ijtihad, kemudian dia tahu ternyata itu salah, maka dia wajib mengqadha, menurut pendapat yang kuat. Dan ketika dia tahu kesalahannya di tengah shalat, wajib mengulangi dari awal. (Al-Minhaj, hlm. 24).
Kedua , shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. Ini pendapat madzhab Hanafi dan salah satu pendapat dalam madzhab hambali.
Dalam kitab al-Ikhtiyar - kitab madzhab hanafi - dinyatakan,
وإن اشتبهت عليه القبلة وليس له من يسأله اجتهد وصلى ولا يعيد وإن أخطأ, فإن علم بالخطأ وهو في الصلاة استدار وبنى, وإن صلى بغير اجتهاد فأخطأ أعاد
Jika ada orang tidak tahu arah kiblat dan tidak ada seorangpun yang bisa ditanya, maka dia bisa berijtihad (dalam menentukan kiblat), dan shalatnya tidak perlu diulang, meskipun arah kiblatnya salah. Jika dia tahu kesalahan arah kiblat di tengah shalat, maka dia langsung berputar (ke arah yang benar) dan melanjutkan shalatnya. Dan jika dia shalat tanpa berusaha mencari arah kiblat yang benar, lalu ternyata salah, maka wajib mengulangi shalatnya. (Al-Ikhtiyar li ta'lil al-Mukhtar, hlm. 4).
Ketiga , dibedakan antara kondisi safar dan mukim. Ini pendapat sebagian ulama Hambali.
Al-Mardawi mengatakan,
الصحيح من المذهب أن البصير إذا صلى في الحضر فأخطأ عليه الإعادة مطلقا وعليه الأصحاب, وعنه لا يعيد إذا كان عن اجتهاد, احتج أحمد بقضية أهل قباء
Pendapat yang kuat dalam madzhab hambali, bahwa orang yang bisa melihat, ketika dia shalat dalam keadaan mukim, kemudian salah kiblatnya, maka dia wajib mengulang shalatnya secara mutlak. Dan inilah pendapat yang dipegangi para ulama madzhab. Dan ada riwayat dari Imam Ahmad bahwa dia tidak perlu mengulangi shalat, jika dia salah setelah berijtihad (berusaha mencarinya). Imam Ahmad berdalil dengan kejadian shalat di masjid Quba. (Al-inshaf, 2/15).
InsyaaAllah pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Hanafiyah dan Imam Ahmad, bahwa dia tidak perlu mengulangi shalatnya, jika sebelumnya dia telah berijtihad, dengan berusaha mencari arah kiblat.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma menceritakan:
Kami pernah dalam suatu perjalanan, tiba-tiba kami diliputi awan gelap. Kemudian masing-masing memilih arah kiblat dan arah kiblat kami berbeda-beda. Seseorang di antara kami membuat garis di depannya supaya tahu ke arah mana ketika shalat. Ketika di pagi hari, kami melihat garis yang dibuat semalam. Ternyata kami shalat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [tetapi beliau tidak menyuruh kami mengulangi shalat]. Beliau bersabda: "Shalat kalian sudah benar . "(HR. Daruqutni 101 & dishahihkan Al Albani).
Dalam hadis lain, dari Amir bin Rabi'ah radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan,
كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر في ليلة مظلمة, فلم ندر أين القبلة, فصلى كل رجل منا على حياله, فلما أصبحنا ذكرنا ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم, فنزل: "{فأينما تولوا فثم وجه الله}
Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memasuki malam yang gelap. Kami tidak tahu, di mana arah kiblat. Akhirnya masing-masing kami shalat sesuai arah keyakinannya. Ketika pagi hari, kami ceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu turun firman Allah,
فأينما تولوا فثم وجه الله
Kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah: 115)
(HR. Turmudzi 345 dan dihasankan al-Albani).
Harus Bertanya ...
Bagi musafir, selama dia tidak yakin dengan arah kiblat dan memungkinkan baginya untuk mengetahui arah kiblat dengan bertanya, namun dia tidak mau bertanya, sehingga shalatnya tidak menghadap kiblat maka shalatnya batal dan harus diulang.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
يحب على من تزل على شخص ضيفا, وأراد أن يتنفل أن يسأل عن القبلة فإذا أخبره اتجه إليها, لأن بعض الناس تأخذه العزة بالإثم ومنعه الحياء وهو في غير محله عن السؤال عن القبلة, بل أسال عن القبلة حتى يخبرك صاحب البيت. أحيانا بعض الناس تأخذه العزة بالإثم ويتجه بناء على ظنه إلى جهة ما, ويتبين أنها ليست القبلة, وفي هذه الحال يجب عليه أن يعيد الصلاة, لأنه استند إلى غير مستند شرعي, والمستند إلى غير مستند شرعي لا تقبل عبادته لقول النبي صلى الله عليه وسلم: " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد". أخرجه مسلم.
Wajib bagi orang yang bertamu di rumah seseorang, dan dia hendak shalat sunah, hendaknya dia bertanya tentang arah kiblat. Jika tuan rumah memberi tahu, dia bisa shalat ke arah yang disarankan. Karena ada sebagian orang yang gengsi atau malu - dan ini malu yang tidak tepat, sehingga tidak mau bertanya tentang kiblat. Seharusnya dia bertanya arah kiblat, sehingga pemilik rumah memberi tahu.
Terkadang ada orang yang gengsi, lalu dia shalat ke arah sesuai dugaannya, kemudian dia diberi tahu bahwa itu bukan arah kiblat, dalam kondisi ini, dia wajib mengulangi shalatnya. Karena dia bersandar pada kebijakan yang tidak diterima secara syariat. Dan orang yang bersandar kepada kebijakan yang tidak diterima secara syariat maka ibadahnya tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,' Siapa yang melakukan praktek, tidak ada dasarnya dari kami, maka amal itu tertolak. ' (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar