Hukum THR untuk Pegawai
By: Ammi Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada orang yang diberi hadiah, agar tidak menolaknya, beliau bersabda,
أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ
“Hadirilah undangan dan jangan tolak hadiah!” (HR. Ahmad 3838, Ibnu Hibban 5603 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Aisyah radhiallahu ‘anha juga meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalas hadiah. (HR. Bukhari 2585).
Kita disyariatkan untuk saling memberi hadiah, agar terwujud rasa kasih sayang dan saling mencintai. Beliau bersabda,
تهادوا تحابوا
Saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Dihasankan al-Albani).
Akan tetapi, dalam kenyataan di dunia bisnis, terkadang tujuan orang memberikan hadiah, bukan karena untuk membangun hubungan saling mencintai. Tapi hadiah karena ada maunya, karena kepentingan, atau karena memperlancar bisnis. Mereka mengirimkan parcel (hadiah) kepada orang-orang tertentu yang diperkirakan bisa memberikan keuntungan duniawi kepadanya. Misalnya untuk tujuan agar penerima parsel bisa tunduk terhadap keinginannya.
Di sisi lain, hadiah semakna dengan suap. Karena itu, para ulama dalam kategori risywah (suap).
Oleh karena itu, apabila parsel (hadiah) diberikan oleh bawahan kepada atasan, baik di instansi pemerintahan ataupun swasta, atau dari seorang mahasiswa kepada dosen, atau dari seorang pengusaha kepada pejabat, atau dari seorang yang sedang bersengketa kepada hakim ataupun jaksa, atau dari klien kepada pegawai perusahaan, termasuk supplier kepada pihak marketing, padahal
a. Semua telah mendapatkan gaji dari pihak yang mempekerjakannya,
b. Pemberi hadiah memberikannya bukan karena menghormati kepada yang diberi, akan tetapi karena jabatannya, jika ia berhenti dari jabatannya tidak mungkin dia akan diberi hadiah,
Maka hadiah dalam kasus di atas tidak lagi murni sebagai hadiah, akan tetapi telah berubah menjadi risywah. Baik diberikan sebelum kepentingannya selesai maupun setelah urusannya selesai. Baik hadiah berupa uang, barang atau apapun bentuknya.
Hal ini dilarang dalam Islam karena akan mengakibatkan pegawai/pejabat yang mendapat amanah akan mengkhianati amanah tersebut dan akan berbuat sesuai dengan keinginan pemberi hadiah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut hadiah semacam ini sebagai bentuk korupsi. Dari Abu Humaid as-Saidi radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul.” (HR. Ahmad 23601, al-Baihaqi dalam as-Shugra 3266 dengan status hasan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar