NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Rabu, 13 November 2013

tidak tahu mandi junub

tidak tahu mandi junub
Message:
assalamualaikum ustad saya ingin bertanya lagi jika seseorang
mengeluarkan mani namun karena tidak tau tentang mandi junub sehingga
dia tidak mandi junub selama 2 tahun lamanya dia baru mengerti?lalu
apa yang harus dia lakukan sekarang? apakah dia harus mandi junub
sekarang? meskipun dia tidak mengeluarkan mani? Terimakasih
 
Jawab:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, beda lupa dengan tahu hukum
perlu dibedakan antara lupa mandi junub dengan tidak tahu hukum mandi junub. Orang yang tahu hukum mandi besar, dan dia memahami orang yang  junub wajib mandi besar, kemudian suatu ketika dia shalat tanpa mandi karena lupa, maka dia berkewajiban mengqadha shalat yang telah dia kerjakan tanpa mandi itu. Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di:
Berbeda dengan orang yang tidak tahu hukum mandi wajib. Misalnya, ada orang yang tidak tahu bahwa ketika keluar mani wajib mandi, kemudian dia shalat hanya dengan berwudhu.  Dalam kasus ini, ulama berbeda pendapat, apakah dia wajib mengulangi shalatnya ataukah tidak, insyaaAllah akan kita bahas lebih rinci pada penjelasan di bawah ini.
 
Kedua,  tidak tahu hukum mandi besar
Suci dari hadats besar dan kecil merupakan syarat sah shalat. Orang yang keluar mani dan dia tidak mandi junub,  masuk dalam kasus, orang yang meninggalkan salah satu syarat sah shalat.
Ketika seseorang tidak mandi junub karena dia tidak tahu hukumnya, berarti dia meninggalkan salah satu syarat sah shalat, karena tidak tahu.
Ulama berbeda pendapat tentang status ibadah orang yang meninggalkan syarat sah shalat, karena tidak tahu hukumnya.
1.       Dia wajib mengqadha semua shalat yang dia kerjakan
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya syafiiyah dan hambali.
Ar-Ramli (w. 1004 H) – ulama madzhab Syafii – mengatakan,
أن الشروط لا تسقط بالجهل ولا النسيان
Bahwa syarat ibadah itu tidak menjadi gugur karena pelakunya tidak tahu atau karena lupa. (Nihayatul Muhtaj, 4/446).
 
Demikian pula yang disampaikan Ar-Ruhaibani (w. 1243 H) – ulama madzhab hambali – mengatakan,
ولا تسقط الشروط عمدا أو سهوا أو جهلا
”Syarat shalat tidak menjadi gugur, baik ditinggalkan secara sengaja, karena lupa, atau karena tidak tahu.”  (Mathalib Uli an-Nuha, 1/305).
 
2.       Dia tidak wajib mengqadha shalat yang dia kerjakan
Ini adalah pendapat Syaikhul Islam (w. 728 H). Salah satu dalil yang beliau sampaikan adalah firman Allah,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Aku tidak akan memberikan siksaan, hingga Aku mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15).
Status orang yang tidak tahu hukum, sebagaimana orang yang belum mendengar dakwah rasul. Syaikhul Islam mengatakan,
لو ترك الطهارة الواجبة لعدم بلوغ النص مثل أن يأكل لحم الإبل ولا يتوضأ.. فهل عليه إعادة ما مضى؟ فيه قولان هما روايتان عن أحمد، ونظيره أن يمس ذكره ويصلي ثم يتبين له وجوب الوضوء من مس الذكر، والصحيح في جميع هذه المسائل عدم وجوب الإعادة لأن الله عفا عن الخطأ والنسيان ولأنه قال: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً،  ، فمن لم يبلغه أمر الرسول في شيء معين لم يثبت حكم وجوبه عليه
Ketika ada orang yang tidak bersuci (mandi atau wudhu), karena dia tidak tahu dalilnya, misalnya dia makan daging onta dan dia tidak berwudhu, apakah dia wajib mengulang shalat yang telah dia kerjakan (karena tidak tahu bahwa makan daging onta termasuk pembatal wudhu)? Ada dua riwayat dari imam Ahmad dalam masalah ini.
Kasusnya sebagaimana orang yang memegang kemaluan, lalu dia shalat (tanpa wudhu). Kemudian dia baru tahu, ternyata dia harus wudhu setelah memegang kemaluan.
Pendapat yang kuat dalam semua kasus ini, dia tidak wajib mengulangi shalatnya, karena; (1) Allah mengampuni orang yang salah dan lupa, (2) karena Allah berfirman, yang artinya, ”Aku tidak akan memberikan siksaan, hingga Aku mengutus seorang rasul.” Karena itu, orang yang belum mengetahui perintah Rasul dalam satu tertentu, maka dia tidak mendapatkan kewajiban melakukan perintah itu.
 
Kemudian, Syaikhul Islam menyebutkan beberapa dalil dari hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
ولهذا لم يأمر النبي صلى الله عليه وسلم عمر وعمارا لما أجنبا فلم يصل عمر وصلى عمار بالتمرغ أن يعيد واحد منهما، وكذلك لم يأمر أبا ذر بالإعادة لما كان يجنب ويمكث أياما لا يصلي، وكذلك لم يأمر من أكل من الصحابة حتى يتبين له الحبل الأبيض من الحبل الأسود بالقضاء، كما لم يأمر من صلى إلى بيت المقدس قبل بلوغ النسخ بالقضاء
”Oleh karena itu, pada peristiwa ketika Umar dan Ammar bin Yasir mengalami junub, kemudian Umar tidak shalat dan Ammar bergulung di tanah agar bisa shalat subuh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan keduanya untuk mengulangi shalat mereka. Demikian pula, ketika Abu Dzar junub kemudian dia tidak shalat beberapa hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan beliau untuk mengulangi shalatnya. Demikian pula, ketika ada sahabat yang terus makan di malam bulan ramadhan, hingga melebihi batas fajar, karena dia selalu melihat dua utas tali hitam dan putih, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha puasanya. Termasuk kasus para sahabat yang shalat menghadap ke baitul maqdis karena tidak tahu bahwa syariat itu telah dihapus, beliau tidak perintahkan untuk mengulangi shalatnya.” (al-Fatawa al-Kubro, 2/48).
 
Hadis-hadis yang diisyaratkan oleh Syaikhul Islam adalah sebagai berikut,
1.       Hadis Ammar dan Umar radhiyallahu 'anhuma,
Dari Ibnu Abdirrahman, beliau menceritakan, bahwa ada seseorang yang junub, kemudian dia bertanya kepada Umar bin Kahatab radhiyallahu 'anhu, ‘Saya junub, sementara saya tidak memiliki air?’ Jawab Umar, ‘Jangan shalat.’ kemudian Ammar mengingatkan,
أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَرِيَّةٍ فَأَجْنَبْنَا: فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَأَمَّا أَنَا فَإِنِّي تَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: «إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ وَضَرَبَ شُعْبَةُ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً وَنَفَخَ فِيهَا، ثُمَّ دَلَكَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ»
“Mungkin kamu masih ingat, ketika kita dalam perjalanan, kemudian kita junub. Ketika itu, kamu tidak mau shalat. Sementara aku bergulung di tanah, lalu aku shalat. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku ceritakan hal itu. Lalu beliau bersabda, ”Sebenarnya kamu cukup melakukan begini.” (lalu beliau mengajari cara tayammum). Beliau tepukkan telapak tangannya sekali, beliau tiup, kemudian beliau usapkan ke tangan, kemudian beliau usapkan ke wajah. (HR. Nasai 319 dan dishahihkan al-Albani).
2.       Hadis Abu Dzar radhiyallahu 'anhu,
Dari Atha rahimahullah, beliau mencitakan,
أجنب أبو ذر وهو من النبي صلى الله عليه وسلم على مسيرة ثلاث
Abu Dzar pernah mengalami junub. Sementara jarak beliau dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sejauh perjalanan 3 hari. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf, 1672).
3.       Hadis makan di malam ramadhan hingga melebihi fajar
Dari Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita pengalaman dirinya,
Ketika turun ayat
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
Makan dan minumlah kalian, hingga jelas bagi kalian benang putih di atas benang hitam. (QS. Al-Baqarah: 187)
Memahami ayat ini, Adi memasang dua benang, putih dan hitam di bawah tempat duduk. Dia perhatikan benang itu, sebagai tanda berhentinya makan dan minum ketika malam ramadhan. Jika benang itu sudah nampak jelas bedanya, dia baru berhenti makan. Sehingga Adi masih tetap makan, sekalipun sudah subuh, karena belum tampak jelas perbedaan dua benang itu.
Kemudian Adi melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jawab beliau,
إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ
”Berarti tempat duduknya lebar sekali. Maksudnya adalah tampak perbedaan gelapnya malam dan putihnya siang.” (HR. Bukhari 4510 & Muslim 1090)
 Show message history
       Hadis shalat ke arah baitul maqdis
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan,
بَيْنَمَا النَّاسُ فِي الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ، جَاءَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَأُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، أَلاَ فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَ وَجْهُ النَّاسِ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا بِوُجُوهِهِمْ إِلَى الكَعْبَةِ»
Ketika masyarakat shalat subuh di masjid Quba, datang seorang sahabat dan meneriakkan, ”Tadi malam  telah turun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ayat al-Quran yang memerintahkan untuk shalat menghadap ke Ka’bah. Menghadaplah ke arah ka’bah.” Ketika itu, masyarakat shalat menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Kemudian mereka berputar menuju Ka’bah. (HR. Bukhari 4490).
 
Dalam semua peristiwa di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk mengulangi shalat yang telah mereka kerjakan, meskipun mereka tidak memenuhi syarat sah shalat, karena mereka tidak tahu.
Berdasarkan keterangan di atas, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam rahimahullah.
 
Allahu a’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar