Berdoa tanpa
Meminta
Ketika Nabi Yunus
‘alaihis salam berada di puncak kesedihannya, beliau berdoa kepada Allah,
لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
”Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87).
Adakah beliau meminta sesuatu dalam doa itu? Tidak.
Namun simak pengaruhnya dalam lanjutan ayat,
فَاسْتَجَبْنَا
لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
”Maka Kami
ijabahi doanya, dan kami selamatkan dia dari kesedihannya, dan demikian pula
kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya: 88).
Nabi Yunus ‘alaihissalaam
tidak meminta apapun dalam doa itu. Beliau hanya memuji Allah dengan pujian
yang paling dicintai-Nya. Begitu mendengar pujian ini dari dalam perut ikan, di
kedalaman lautan, dan di tengah kegelapan malam; Allah langsung mengijabahinya
seketika, dan mengeluarkannya dari perut ikan.
Mari kita bandingkan dengan hadis berikut,
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Sebaik-baik doa, adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik doa yang
kupanjatkan dan dipanjatkan oleh para nabi sebelumku adalah
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَهُ الحَمْدُ
وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
“Tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu
bagiNya. MilikNya semua kerajaan, dan bagiNya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu.” (HR. Turmudzi 3585 dan dihasankan oleh al-Albani dalam
Shahih at-Targhib no. 1536)
Imam Sufyan
bin Uyainah -guru besar Imam Syafi’i- pernah ditanya tentang hadis qudsi: ’Allah
berfirman, ”Barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan memuji-Ku sehingga
tidak sempat mengajukan permohonan kepada-Ku, Aku akan berikan nikmat yang
lebih baik dari pada yang diharapkan orang yang meminta.’
Bagaimana dzikir
bisa menjadi doa? Maksud pertanyaan orang itu.
Imam
Sufyan-pun menjawab dengan menyitir sebait sya’ir yang diucapkan Umayyah bin
Abi Shalt saat minta santunan kepada Abdullah bin Jud’an yang terkenal
dermawan:
أأذكرُ
حاجتي أم قد كفاني حياؤكَ إنَّ شيمتَكَ
الحياءُ
إذا أثنى عليك المرءً
يوماً كفاهُ من تعرضك
الثَّناءُ
كريمٌ
لا يُغيرُه صباحٌ عن
الخُلُقِ الجميل ولا مساء
Perlukah
kusebut hajatku, ataukah rasa malu cukup bagimu, karena
engkau memang pemalu?
Bila seseorang
menyanjungmu di suatu hari cukuplah
itu baginya, daripada harus meminta
Si dermawan yang sifat kedermawannya tidak
pernah berubah siang dan sore hari
Begitu mendengar syair tadi, Ibnu Jud’an langsung
menyantuninya. Sufyan bin Uyainah berkomentar, “Jikalau manusia saja cukup
dipuji agar dia memberi, lantas bagaimana dengan Sang Pencipta yang Maha Mulia tiada
tara ?” (al-Mujalasah wa Jawahir al-Ilm,
no. 49).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar