Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah memberi tugas kepada muridnya Abul Hayyaj al-Asadi. Ali bin Abi Thalib mengatakan,
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ»
”Maukah kamu saya beri tugas sebagaimana tugas yang pernah diberikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku? Jangan biarkan gambar makhluk bernyawa, sampai kamu merusaknya, dan jangan biarkan kuburan yang ditinggikan, sampai kamu meratakannya.” (HR. Ahmad 741, Muslim 969, Abu Daud 3218, Turmudzi 1049, Abdurrazaq dalam Mushanaf 6487, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1366, dan beberapa ulama lainnya).
Dalam hadis yang lain, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, beliau menceritakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menyemen kuburan, duduk diatasnya atau membangun sesuatu di atasnya.” (HR. Muslim 2289, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11764, dan yang lainnya).
Kami tidak memberi komentar apapun dengan dua hadis di atas, karena setiap orang yang bisa membaca, akan bisa menyimpulkan bahwa meninggikan kuburan atau bahkan mengkijing dengan marmer adalah tindakan yang melanggar larangan Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bukankah Makan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Dikijing?
Anda mungkin sering mendengar informasi ini. Dan info ini menjadi alasan utama untuk melegalkan praktek meninggikan kuburan, termasuk yang terjadi pada kasus makam Uje.
Ada beberapa jawaban untuk menegaskan bahwa kalimat ini adalah alasan yang salah,
Pertama, makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikijing, tidak ditinggikan melebihi gundukan tanah normal. Itulah kondisi makam beliau yang ada di zaman sahabat. Saksi sejarah keterangan ini adalah riwayat dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ
Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimakamkan dalam liang lahat, diletakkan batu nisan di atasnya, dan kuburannya ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu jengkal.
Persaksian lain disampaikan oleh Sufyan bin Dinar at-Tammar – seorang ulama tabiin –,
أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
”Bahwa beliau melihat makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk gundukan.” (HR. Bukhari 2/103).
Dalam riwayat lain, Sufyan at-Tammar mengatakan,
دخلت البيت الذي فيه قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فرأيت قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقبر أبي بكر وعمر مُسنَّمةً
”Saya masuk ke rumah yang di dalamnya ada makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku lihat makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar dalam bentuk gundukan.” (HR. Ibn Abi Syaibah 11734).
Persaksian lain disampaikan oleh tiga ulama senior tabiin, Abu Ja’far, Salim murid Ibn Umar, dan al-Qosim bin Muhammad cucu Abu Bakr as-Shidiq. Mereka mengatakan,
كان قبر النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر جثى قبلة نصب لهم اللبن نصبا، ولحد لهم لحدا
Makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar berupa gundukan menyerong kiblat, diberi batu nisan, dan dimakamkan dalam liang lahat. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11634).
Semua riwayat ini menggambarkan keadaan awal makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Para sahabat tidak membuat kijing untuk makam beliau, tidak pula memberikan kubah di atasnya. Sementara kita sepakat, tidak ada manusia yang lebih mencintai nabinya, melebihi para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Namun rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah membuat mereka menyalahi aturan. Karena kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka ekspresikan dalam bentuk ittiba’ (mengikuti aturan) yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah makna cinta Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sesungguhnya.
Al-Qadhi Iyadh – seorang ulama syafiiyah – mengatakan,
فالصادق في حب النبي صلى الله عليه وسلم من تظهر علامة ذلك عليه وأولها: الاقتداء به واستعمال سنته واتباع أقواله وأفعاله وامتثال أوامره واجتناب نواهيه والتأدب بآدابه في عسره ويسره ومنشطه ومكرهه وشاهد
Orang yang jujur dalam mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan ciri mengikuti jejak beliau, terutama adalah dengan meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau contohkan, baik dalam keadaan susah maupun senang dan keadaan lapang maupun sempit. (asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24).
Kedua, beberapa gamabr yang tersebar di masyarakat mengenai makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah foto dusta. Berikut diantara gambar yang diisukan merupakan foto makam beliau,
Gambar 1
Gambar ini bukan foto makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan alasan,
a. Pertama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dimakamkan dalam peti, namun beliau dimakamkan dalam lahad (lubang menyamping di ling kubur), bersentuhan langsung dengan tanah.
b. Orang yang mengunjungi makam masjid nabawi akan menyimpulkan itu bukan masjid nabawi. Karena dinding di sekitar makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam umumnya berwarna hijau, sementara ini berwarna keemasan.
Yang benar, gambar itu adalah kuburan Jalaludin Rumi. Seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, meninggal tahun 672 H. Masyarakat sufi sangat mengagungkannya dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan berharga. Di bagian atas terdapat tulisan syair karya Jalaludin Rumi.
Gambar 4 & 5
Gambar ini bukan makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dua makam disampingnya juga bukan makam Abu Bakr dan Umar. Lebih dari itu, makam Abu Bakar agak lebih bawah sedikit di samping makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan makam Umar agak lebih bawah sedikit di samping makam Abu Bakr. Sementara dua makam itu sejajar lurus dengan makam utama.
Yang benar, ini adalah gambar makam pendiri Khilafah Utsmaniyah, Sultan Ghazi Utsman Khan. Makam ini adanya di Turki.
Memahami hal ini, berbagai gambar tentang makam beliau yang tersebar di masyarakat dan internet adalah gambar dusta dan itu bukan foto asli makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga foto semacam ini tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Ketiga, tentang kubah hijau, atau bangunan megah di atas makam beliau, dan semua keadaan yang terjadi pada makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam SETELAH kurun masa sahabat, bukanlah dalil untuk melegalkan hal tersebut. Karena keadaan semacam ini telah keluar dari kondisi aslinya. Kondisi asli yang belum ternodai oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Keadaan makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang asli adalah ketika di zaman sahabat dan tabiin. Makam beliau tidak dikijing, kelihatan gundukan tanahnya, tidak ditinggikan melebihi gundukan tanah normal umumnya kuburan.
Jarak antara zaman kita dengan zaman beliau terpaut 1400 tahun lebih. Anda bisa bayangkan, berapa manusia yang sempat berkuasa dan menjamah makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam? Sementara sikap mereka bertentangan dengan pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga bagaimana mungkin, kebijakan raja atau penguasa semacam ini bisa dijadikan dalil dan acuan.
Hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu
Saya ingin mengajak anda untuk sejenak merenungkan makna hadis Ali bin Abi Thalib yang telah kita singgung di atas.
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ»
”Maukah kamu saya beri tugas sebagaimana tugas yang pernah diberikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku? Jangan biarkan gambar makhluk bernyawa, sampai kamu merusaknya, dan jangan biarkan kuburan yang ditinggikan, sampai kamu meratakannya.” (HR. Ahmad 741, Muslim 969, Abu Daud 3218, Turmudzi 1049, Abdurrazaq dalam Mushanaf 6487, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1366, dan beberapa ulama lainnya).
Kita perhatikan, dalam hadis ini, tidaklah SEMATA menunjukkan bahwa meninggikan kuburan hukumnya terlarang. Namun hadis ini memberikan penekanan bahwa makam siapapun yang ditinggikan, harus diratakan dengan tanah atau disisakan gundukan normal kuburan. Artinya di sana ada perintah untuk meratakan makam siapapun yang melanggar larangan dengan ditinggikan, agar disamakan dengan makam lainnya.
Namun waktu berjalan dan kondisi msyarakat berubah. Di zaman para sahabat, ketika sunah dan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tumbuh subur di negeri kaum muslimin, menghancurkan kijing makam yang ditinggikan adalag hal yang lumrah bahkan menjadi tugas Khalifah, semacam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Berbeda dengan zaman sekarang, di saat penyakit kultus terhadap orang soleh mengakar di mana-mana, tugas memugar kuburan yang dikijing, menjadi praktek yang kontroversial dan dianggap menyalahi aturan. Kijing kuburan telah dianggap bagian dari prinsip hidup sebagian kaum muslimin. Siapa yang melawan kijing dan berusaha memugarnya, siap untuk dilawan, sekalipun harus mengorbankan nyawa. Kijing dan marmer kuburan, telah menjadi masalah yang bisa mengancam stabilitas masyarakat.
Inilah yang menjadi pertimbangan besar negara Arab Saudi. Mereka dalam buku-bukunya mendakwahkan untuk anti dengan kijing dan meninggikan kuburan, namun mengapa kubah hijau tidak dipugar?
Jawabannya, karena makam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan semata kepentingan Saudi, tapi kepentingan jutaan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Bisa jadi akan timbul pertumpahan darah di masjid nabawi, ketika pemerintah memugar kubah itu. Keputusan ini sejatinya meniru keputusan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang bentuk bangunan ka’bah. Beliau pernah mengatakan kepada istri beliau A’isyah,
لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ، فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتِ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا
“Kalaulah bukan karena masyarakat-mu baru saja masuk islam, aku akan memugar ka’bah dan menjadikannya sesuai dengan bangunan Ibrahim. Karena orang quraisy ketika membangun Ka’bah tidak menyempurnakan bangunannya. Aku akan buat pintu belakang.”. (HR. Bukhari 126, Muslim 1333, dan yang lainnya).
Ini terjadi ketika beliau telah menaklukkan kota Mekah. Beliau melihat bangunan ka’bah versi orang Quraisy, berbeda dengan ka’bah asli bangunan Ibrahim. Namun pemugaran itu tidak beliau lakukan, karena mempertimbangkan kemaslahatan. Bisa jadi ketika beliau memugar ka’bah, akan banyak orang yang murtad dan menyalahkan sikap beliau.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar