Nurhadi Darussalam
Pada
umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara
agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak
hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk
kegiatan yang sah maupun
tidak
sah. Karena itu, tindak pidana pencucian tidak hanya mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
I.
DASAR
HUKUM
UURI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Penyempurnaan atas
UURI nomor 15 tahun 2002 dan UURI nomor 25 tahun 2003).
II.
PENGERTIAN
1. Pencucian
Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
UURI Nomor 8 Tahun 2010.
2. Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independent
yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang.
3. Transaksi
Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau
kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4. Transaksi
Keuangan mencurigakan adalah:
a. Transaksi
Keuangan yang menyimpang dari profile, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b. Transaksi
Keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
pihak pelapor sesuai dengan ketentuan UU.
c. Transaksi
Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan
yang diduga berasal dari tindak pidana.
d. Transaksi
Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena
melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
5. Pihak
Pelapor adalah setiap orang yang menurut UU wajib melaporkan kepada PPATK.
6. Pengguna
Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa pihak pelapor.
7. Pihak
Pelapor meliputi:
a. Penyedia
jasa keuangan: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan
pialang asuransi, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan efek, manager
investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro,
pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu,
penyelenggara e-money, dan/atau wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan
pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka
komoditi, atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
b. Penyedia
barang dan/atau jasa lain: perusahaan properti/agen properti, pedagang
kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasaan/logam mulia, pedagang
barang semi dan antik, bale lelang
Pihak
Pelapor penyedia jasa keuangan selain dimaksud disebut diatas mencakup juga:
perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan
mikro, lembaga pembiayaan ekspor.
Pihak
Pelapor selain dimaksud diatas juga mencakup: advokat, notaris, pejabat pembuat
akta tanah, akuntan, akuntan publik, perencana keuangan.
Hasil
tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi,
penyuapan, narkotika, psikotropika, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan
migran, dibidang perbankan, dibidang pasar modal, dibidang perasuransian,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme,
penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup,
dibidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah NKRI atau diluar
wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
Hukum Indonesia.
KAJIAN
FIQIH (KONTEMPORER)
Para ulama Indonesia bersepakat bahwa
kejahatan pencucian uang sejajar dengan pencurian dan penipuan. Kejahatan ini
mendapat perhatian khusus, karena tindak pidana ini belum pernah dibahas para
ulama zaman dahulu.
Ada 5 (lima) hal ketentuan hukum yang
disepakati para ulama ialah:
1. Pencucian
uang merupakan tindak pidana, karena merupakan bentuk pencurian dan penipuan.
Kejahatan ini dinilai terorganisir karena melibatkan sejumlah orang sehingga
pelakunya tidak sendirian. Ada yang berperan sebagai pelaku tindak pidana,
misalnya korupsi. Hasil korupsi dimanfaatkan untuk membuka usaha konstruksi
bangunan. Uang hasil korupsi akhirnya terlihat seperti jerih payah sendiri. Ini
jelas merupakan penipuan.
2. Pelaku
tindak pidana ini layak dihukum dengan ancaman hukuman yang berlaku dan
kemudian dikucilkan. Mereka harus diberikan pelajaran agar tidak lagi melakukan
kejahatan yang sama. Intinya adalah hukuman yang memberikan efek jera.
3. Menerima
dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Hal ini
diatur dalam QS. Al Baqoroh: 188: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain itu dengan jalan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui. Dan hal yang sama juga ditegaskan dalam QS. An Nissa: 29: Hai
orang-orang yang beriman, jangalah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh (dirimu); sesungguhnya Allah
adalah Maha penyayang kepadamu.
4. Penerima
uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya
kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.
5. Penerima
hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu
kepada negara. Hal ini dinilai wajar karena penerima uang belum tentu berperan
sebagai pelaku kejahatan asal, yang kemudian hasilnya diputar dalam proses
pencucian uang.