NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Jumat, 29 April 2016

KAJIAN FIQIH (KONTEMPORER) TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Nurhadi Darussalam

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana pencucian tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


I.                DASAR HUKUM
UURI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Penyempurnaan atas UURI nomor 15 tahun 2002 dan UURI nomor 25 tahun 2003).

II.                PENGERTIAN
1.   Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai UURI Nomor 8 Tahun 2010.
2.   Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independent yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
3.   Transaksi Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4.   Transaksi Keuangan mencurigakan adalah:
a.    Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profile, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b.   Transaksi Keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan UU.
c.    Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
d.   Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
5.   Pihak Pelapor adalah setiap orang yang menurut UU wajib melaporkan kepada PPATK.
6.    Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa pihak pelapor.
7.   Pihak Pelapor meliputi:
a.    Penyedia jasa keuangan: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan efek, manager investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, penyelenggara e-money, dan/atau wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi, atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b.   Penyedia barang dan/atau jasa lain: perusahaan properti/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasaan/logam mulia, pedagang barang semi dan antik, bale lelang

Pihak Pelapor penyedia jasa keuangan selain dimaksud disebut diatas mencakup juga: perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan ekspor.

Pihak Pelapor selain dimaksud diatas juga mencakup: advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, perencana keuangan.

Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan migran, dibidang perbankan, dibidang pasar modal, dibidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup, dibidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah NKRI atau diluar wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut Hukum Indonesia.

KAJIAN FIQIH (KONTEMPORER)
Para ulama Indonesia bersepakat bahwa kejahatan pencucian uang sejajar dengan pencurian dan penipuan. Kejahatan ini mendapat perhatian khusus, karena tindak pidana ini belum pernah dibahas para ulama zaman dahulu.

Ada 5 (lima) hal ketentuan hukum yang disepakati para ulama ialah:
1.   Pencucian uang merupakan tindak pidana, karena merupakan bentuk pencurian dan penipuan. Kejahatan ini dinilai terorganisir karena melibatkan sejumlah orang sehingga pelakunya tidak sendirian. Ada yang berperan sebagai pelaku tindak pidana, misalnya korupsi. Hasil korupsi dimanfaatkan untuk membuka usaha konstruksi bangunan. Uang hasil korupsi akhirnya terlihat seperti jerih payah sendiri. Ini jelas merupakan penipuan.

2.   Pelaku tindak pidana ini layak dihukum dengan ancaman hukuman yang berlaku dan kemudian dikucilkan. Mereka harus diberikan pelajaran agar tidak lagi melakukan kejahatan yang sama. Intinya adalah hukuman yang memberikan efek jera.

3.   Menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Hal ini diatur dalam QS. Al Baqoroh: 188: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Dan hal yang sama juga ditegaskan dalam QS. An Nissa: 29: Hai orang-orang yang beriman, jangalah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh (dirimu); sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.

4.   Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.


5.   Penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar karena penerima uang belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal, yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.