NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Senin, 17 Agustus 2015

Status Hasil Kerja di Bank Setelah Pensiun



Ada orang yang puluhan tahun kerja di bank karena tidak tahu bahwa itu sumber riba. Selama karirnya di bank, dia memiliki rumah, tanah, mobil, tabungan ratusan juta dan perhiasan. Setelah pensiun, dia mulai banyak belajar. Dari sana dia sadar, selama bekerja, dia telah melakukan banyak transaki riba. Sehingga semua hartanya, hasil riba.
Apakah dia harus mensedekahkan semua hartanya?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Setiap muslim harus selalu merasa resah dengan setiap harta haram yang dia miliki. Karena ini menyangkut keselamatan dirinya dunia akhirat.
Dari Khoulah al-Anshariyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya ada beberapa orang beraktivitas dengan harta Allah dengan cara tidak benar, sehingga mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat. (HR. Ahmad 28078, Bukhari 3118, dan yang lainnya).

Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam,  
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِالْحَرَامِ

“Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.” (HR. Al-Bazzar dalam musnadnya no. 43).

Dua Macam Harta Haram Hasil Transaksi
Harta haram yang diperoleh manusia ada dua,
Pertama, harta haram yang diperoleh dengan cara dzalim
Seperti mencuri, merampok, merampas, korupsi, menipu, dst.
Satu-satunya cara bertaubat untuk harta haram karena hasil kedzaliman adalah dengan mengembalikan harta itu kepada yang berhak.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan,
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا. إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْ حَسَناَتِهِ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٍ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah mendzalimi saudaranya, hendaklah ia segera minta dihalalkan pada hari ini, sebelum datang suatu hari, saat tidak berlaku lagi dinar dan tidak pula dirham. Jika ia memiliki amal saleh, akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang diperbuatnya lalu diserahkan kepada orang yang dizaliminya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, akan diambil kejelekan saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari 6534).

Kedua, harta haram yang diperoleh dengan cara suka sama suka
Seperti hasil jual beli barang haram, hasil jasa haram, seperti penyanyi, wanita penghibur, perzinaan, dst. Termasuk posisi sebagai pegawai bank ribawi.
Untuk jenis kedua ini, ulama membaginya menjadi 2,
Pertama, dia melakukan pekerajaan haram itu, sebelum dia tahu bahwa itu haram
Dalam kasus ini, dia dibolehkan memanfaatkan setiap harta yang dia peroleh selama dia bekerja, di masa sebelum dia tahu bahwa itu haram.
Sebelum turun ayat yang melarang Khamr, minuman ini menjadi salah satu komoditas perdagangan sebagian penduduk Madinah. Khamr dijual di daerah syam, sehingga menjadi salah satu sumber penghasilan sebagian penduduk Madinah. Ketika Khamr diharamkan, kita tidak menjumpai riwayat yang menyebutkan bahwa mereka meninfakkan harta hasil penjualan khamr di masa silam itu.

Kedua, dia melakukan pekerjaan yanng haram itu, setelah dia tahu bahwa itu haram.
Dalam kondisi ini, dia terlarang memanfaatkan harta itu, dan wajib dia salurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Dalam ragka membebaskan diri dari harta haram.
Kita simak keterangan dari Syaikhul Islam,   
وما قبضه الإنسان بعقد مختلف فيه يعتقد صحته لم يجب عليه رده في أصح القولين، ومن كسب مالاً حرامًا برضاء الدافع ثم تاب: كثمن خمر ومهر البغي وحلوان الكاهن، فالذي يتلخص من كلام أبي العباس أن القابض إذا لم يعلم التحريم ثم علم جاز له أكله، وإن علم التحريم أولاً ثم تاب فإنه يتصدق به. كما نص عليه أحمد في حامل الخمر

Harta yang diperoleh seseorang dari  transaksi yang dia yakini keabsahannya, maka tidak wajib untuk dia kembalikan, menurut pendapat yang kuat. Dan orang yang mendapatkan harta haram, dengan kerelaan orang yang memberikannya, kemudian dia bertaubat, seperti hasil menjual Khamr, upah wanita pezina, dan hasil perdukunan, kesimpulan dari keterangan Ibnu Taimiyah (Abul Abbas) untuk kasus ini adalah bahwa yang menerima jika tidak tahu bahwa itu haram, kemudian dia baru tahu bahwa itu haram, maka dia boleh memakannya. Sementara jika sebelumnya dia sudah tahu bahwa itu haram kemudian bertaubat, maka wajib mensedekahkannya. Sebagaimana yang ditegaskan Imam Ahmad tentang upah kurir khamr. (al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Fatawa Sayikhul Islam, 4/77).

Dari kasus yang disampaikan, jika dia bisa memastikan bahwa selama menjadi pegawai bank dia benar-benar tidak tahu bahwa itu haram, atau ketika dia berkarir di bank, dia meyakini bahwa itu halal, maka dia boleh memanfaatkan harta miliknya.
Namun jika dia sudah tahu, hanya saja dia tidak mau perhatian, dan tetap nekad menjadi pegawai bank, maka dia harus memisahkan gajinya dari bank, dan menyerahkannya untuk kemasalahan umat islam.  

Demikian,
Allahu a’lam

Ketika Menyerahkan Zakat Wajib Memberi Tahu Bahwa Itu Zakat?



Apakah ketika menyerahkan zakat, muzakki harus memberi tahu bahwa itu harta zakat? Trim’s

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,
Ketika seorang muzakki menyerahkan zakatnya, di sana ada 2 yang menampung zakatnya,
Pertama, panitia penerima zakat, seperti Lazis atau semacamnya.
Jika penerima zakat adalah panitia, sangat dianjurkan untuk diberi tahukan bahwa itu harta zakat. Bahkan bisa jadi harus diberi tahukan. Agar panitia bisa menyalurkan zakat itu kepada sasaran yang benar, yaitu 8 golongan yang disebutkan dalam firman Allah,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Kedua, mustahiq zakat secara langsung. Muzakki menyerahkannya kepada orang yang yang dia yakini berhak menerima zakat, seperti orang fakir atau miskin.
Jika penerima zakat adalah orang yang memang berhak menerimanya (mustahiq), maka tidak disyaratkan harus diberi tahu bahwa itu uang zakat. Bahkan tidak perlu diberi tahu. Karena bisa jadi ini membuat penerima merasa tersinggung, karena dia dianggap miskin.
Diantara dalil bahwa dalam menyerahkan zakat tidak harus memberi tahu penerima adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kasus zakat yang pernah dilakuka oleh seorang muzakki yang soleh,
قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ اللَّيْلَةَ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ زَانِيَةٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ، قَالَ: اللهُمَّ، لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ غَنِيٍّ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ: تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ، قَالَ: اللهُمَّ، لَكَ الْحَمْدُ عَلَى غَنِيٍّ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ: تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ، فَقَالَ: اللهُمَّ، لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، وَعَلَى غَنِيٍّ، وَعَلَى سَارِقٍ، ….
Ada orang yang mengatakan, ”Malam ini aku akan membayar zakat.’ Dia keluar rumah dengan membawa harta zakatnya. Kemudian dia berikan kepada wanita pelacur (karena tidak tahu). Pagi harinya, masyarakat membicarakan, tadi malam ada zakat yang diberikan wanita pelacur. Orang inipun bergumam: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan pelacur.’

‘Saya akan bayar zakat lagi.’ Ternyata malam itu dia memberikan zakatnya kepada orang kaya. Pagi harinya, masyarakat membicarakannya, tadi malam ada zakat yang diberikan kepada orang kaya. Orang inipun bergumam: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan orang kaya.’

‘Saya akan zakat lagi.’ Malam itu, dia serahkan zakatnya kepada pencuri. Pagi harinya, masyarakat membicarakan, tadi malam ada zakat yang diberikan kepada pencuri. Orang inipun bergumam: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan pelacur, orang kaya, dan pencuri…” (HR. Bukhari 1421 dan Muslim 1022).

Dalam hadis ini, orang tersebut tidak memberi tahu bahwa yang dia serahkan itu adalah harta zakat. Sehingga sekalipun ada orang kaya yang menerimanya, si kaya ini tidak menolaknya. Padahal dia bukan termasuk orang yang berhak menerima zakat.

Semacam ini pula yang difatwakan oleh Syaikh Ubaid al-Jabiri.
Beliau ditanya,
Apakah dipersyaratkan ketika membayar zakat -kepada orang yang berhak- harus menyampaikan bahwa ini adalah harta zakat? Terkadang ada orang miskin yang menolak karena tahu kalo itu zakat.

Jawaban Syaikh Ubaid,
لا تُبلِّغه، دعْهُ في غفلته، مادام أنه محتاج يعني فقيرًا أو مسكينًا أو غارمًا، أو ابن سبيل؛ من الأصناف الثمانية، فأعطه ما تقدر عليه دون إبلاغه بذلك، إلا إن ألحَّ عليك، فقل له: نعم هذا زكاة، لكن إذا سكت فاسكت أنت ودعه في غفلته
Jangan beritahu kepadanya! Biarkan ia tidak menyadarinya, selama dia termasuk orang yang butuh, yaitu fakir, miskin atau orang yang terbelit utang atau ibnu sabil, yang tergolong delapan kelompok (yang berhak menerima zakat).
Silahkan berikan apa yang anda mampu berikan, tanpa menyampaikan kepadanya bahwa itu zakat). Kecuali jika ia terus menanyakan maka jawablah “Ya, ini adalah zakat”.

Namun andaikata dia diam, sebaiknya anda diam dan biarkan ia tidak menyadarinya.

Allahu a’lam

Menggabungkan Puasa Syawal dengan Puasa Senin Kamis



Assalamulaikum,

Bolehkah menggabungkan niat puasa syawal dengan puasa senin-kamis ? Terima kasih

Kang Bagus

Jawab:

Wa alaikumus salam wa rahmatullah,

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba'du,

Dilihat dari latar belakang disyariatkannya ibadah, para ulama membagi ibadah menjadi dua,

Pertama, ibadah yang maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Sehingga ibadah ini harus ada secara khusus. Semua ibadah wajib, shalat wajib, puasa wajib, dst, masuk jenis pertama ini.

Termasuk juga ibadah yang disyariatkan secara khusus, seperti shalat witir, shalat dhuha, dst.

Termasuk jenis ibadah ini adalah ibadah yang menjadi tabi’ (pengiring) ibadah yang lain. Seperti shalat rawatib. Dan sebagian ulama memasukkan puasa 6 hari bulan syawal termasuk dalam kategori ini.

Kedua, kebalikan dari yang pertama, ibadah yang laisa maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah itu bukan merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Tujuan utamanya adalah yang penting amalan itu ada di kesempatan tersebut, apapun bentuknya.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui apakah ibadah ini termasuk maqsudah li dzatiha ataukah laisa maqsudah li dzatiha, adalah dengan memahami latar belakang dari dalil masing-masing ibadah.

(Liqa’ al-Bab al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, volume 19, no. 51).

Kita akan lihat contoh yang diberikan ulama untuk lebih mudah memahaminya.

Contoh pertama, shalat tahiyatul masjid.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai shalat 2 rakaat. (HR. Bukhari 1163)

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan agar kita shalat 2 rakaat setiap kali masuk masjid sebelum duduk. Artinya, yang penting jangan langsung duduk, tapi shalat dulu. Tidak harus shalat khusus tahyatul masjid. Bisa juga shalat qabliyah atau shalat sunah lainnya. Meskipun boleh saja jika kita shalat khusus tahiyatul masjid.

Dari sini, shalat keberadaan ibadah shalat tahiyatul masjid itu bukan merupakan tujuan utama. Tapi yang penting ada amal, yaitu shalat 2 rakaat ketika masuk masjid. Apapun bentuk shalat itu.

 

Contoh kedua, puasa senin-kamis

Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengapa beliau rajib puasa senin kamis, beliau mengatakan,

ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Di dua hari ini (senin – kamis), amalan dilaporkan kepada Allah, Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amalku dilaporkan, saya dalam kondisi puasa. (HR. Ahmad 21753, Nasai 2358, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hadis ini, siapapun yang melakukan puasa di hari senin atau kamis, apapun bentuk puasanya, dia mendapatkan keutamaan sebagaimana hadis di atas. Amalnya dilaporkan kepada Allah, dalam kondisi dia berpuasa. Baik ketika itu dia sedang puasa wajib, atau puasa sunah lainnya. Meskipun boleh saja ketika dia melakukan puasa khusus di hari senin atau kamis.

Menggabungkan Niat Dua Ibadah

Para ulama menyebutnya ”at-Tasyrik fin Niyah” atau ”Tadakhul an-Niyah” (menggabungkan niat).

Terdapat kaidah yang diberikan para ulama dalam masalah menggabungkan niat,

إذا اتحد جنس العبادتين وأحدهما مراد لذاته والآخر ليس مرادا لذاته؛ فإن العبادتين تتداخلان

Jika ada dua ibadah yang sejenis, yang satu maqsudah li dzatiha dan satunya laisa maqsudah li dzatiha, maka dua ibadah ini memungkinkan untuk digabungkan. (’Asyru Masail fi Shaum Sitt min Syawal, Dr. Abdul Aziz ar-Rais, hlm. 17).

 

Dari kaidah di atas, beberapa amal bisa digabungkan niatnya jika terpenuhi 2 syarat,

Pertama, amal itu jenisnya sama. Shalat dengan shalat, atau puasa dengan puasa.

Kedua, ibadah yang maqsudah li dzatiha tidak boleh lebih dari satu. Karena tidak boleh menggabungkan dua ibadah yang sama-sama maqsudah li dzatiha.

Menggabungkan Niat Puasa Syawal dengan Senin Kamis

Dari keterangan di atas, puasa syawal termasuk ibadah maqsudah li dzatiha sementara senin kamis laisa maqsudah li dzatiha.

Sehingga niat keduanya memungkinkan untuk digabungkan. Dan insyaaAllah mendapatkan pahala puasa syawal dan puasa senin kamis.

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ’alaih)

Karena dia menggabungkan kedua niat ibadah itu, mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.

Allahu a'lam

Hubungan Badan di 10 Malam Terakhir Ramadhan, Dilarang?



Apa benar selama 10 malam terakhir ramadhan kita dilarang melakukan hubungan badan? Trim’s

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Allah halalkan bagi umat islam untuk melakukan hubungan  badan di malam ramadhan.
Allah berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka." (QS. al-Baqarah: 187).

Dalam ayat di atas, Allah halalkan hubungan badan pada lailatas shiyam [لَيْلَةَ الصِّيَامِ]. Kata lailah adalah isim jenis yang menunjukkan makna seluruh malam. Sehingga ayat ini dalil boleh melakukan hubungan badan sepanjang malam puasa ramadhan. Artinya, itu berlaku sampai akhir ramadhan.

Kecuali bagi orang itikaf, mereka dilarang melakukan hubungan badan, karena bisa membatalkan itikafnya.
Allah berfirman,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. al-Baqarah: 187).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Mengencangkan Ikat Pinggangnya?
Menurut keterangan Aisyah Radhiyallahu 'anha, ketika masuk 10 terakhir ramadhan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih rajin lagi dalam beribadah. Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika masuk 10 terakhir ramadhan, beliau mengencangkan sabuknya, menghabiskan malamnya dengan ibadah, dan membangunkan para istrinya (untuk ibadah). (HR. Bukhari 2024).

Ada beberapa keterangan ulama tentang makna keterangan Aisyah Radhiyallahu 'anha, “mengencangkan sabuknya”,
1.      Dimaknai secara hakiki. Artinnya, beliau benar-benar mengencangkan sabuknya.
2.      Dipahami sebagai kalimat kiasan, untuk mengungkapkan dua hal,
a.       Menjauhi hubungan badan
b.      Menghabiskan waktu untuk fokus ibadah
(Umdatul Qori, 11/139)

Mengapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjauhi istrinya di 10 malam terakhir ramadhan?
Ada yang mengatakan, karena beliau sedang itikaf. Ada juga yang mengatakan, itu terjadi di luar itikaf. Yang kedua ini merupakan pendapat al-Qurthubi. (Fathul Bari, 4/269)

Namun apapun itu, apa yang beliau lakukan bukan dalam rangka melarang umatnya untuk melakukan hubungan badan di 10 malam terakhir ramadhan. Namun untuk karena kesungguhan beliau dalam beribadah ketika itu, hingga beliau tinggalkan hubungan badan.

Allahu a’lam

Menelan Sisa Makanan Ketika Puasa



Apakah menelan sisa makanan bisa membatalkan puasa?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Dalam puasa, rongga mulut terhitung bagian luar tubuh. Karena itu, berkumur tidak membatalkan puasa. Sehingga orang yang berpuasa, bisa melakukan wudhu sebagaimana ketika tidak puasa.
Turunan dari ini, sisa makanan di sela-sela gigi statusnya berada di luar tubuh. Jika itu mungkin untuk dihindari namun ditelan dengan sengaja maka puasanya batal. Demikian keterangan dalam madzhab Syafiiyah dan Hambali.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وشرط الشافعية والحنابلة، لعدم الإفطار بابتلاع ما بين الأسنان شرطين:
أولهما: أن لا يقصد ابتلاعه.
والآخر: أن يعجز عن تمييزه ومجه؛
لأنه معذور فيه غير مفرط، فإن قدر عليهما أفطر، ولو كان دون الحمصة، لأنه لا مشقة في لفظه، والتحرز عنه ممكن
Madzhab Syafiiyah dan hambali menetapkan 2 syarat untuk orang yang menelan sisa makanan ketika puasa, tidak menyebabkan puasanya batal,
Syarat pertama, tidak sengaja menelannya
Kedua, dia tidak bisa menghindarinya ketika menelan ludah
Karena orang ini memiliki udzur dan tidak sengaja. Jika dia mampu untuk menghindarinya, tapi sengaja dia telan, maka batal puasanya. Meskipun lebih kecil dari pada lubang. Karena tidak sulit baginya untuk meludahkannya dan menghindarinya.
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 26/64).

Inilah yang difatwakan Syaikh Dr. Sholeh al-Fauzan.
Jawaban beliau terkait sisa makanan bagi orang puasa,
إذا أصبح الصائم ووجد في أسنانه شيء من مخلفات الطعام ، هذا لا يؤثر على صيامه ، لكن عليه أن يلفظ هذه المخلفات ويتخلص منها ، ولا تؤثر على صيامه ، إلا إذا ابتلعها ، فإذا ابتلع شيئاً مما تخلف في أسنانه متعمداً ، فإن هذا يُفسد صيامه ، أما لو ابتلعه جاهلاً أو ناسياً ، هذا لا يؤثر على صيامه
Apabila seseorang yang sedang berpuasa mendapatkan sisa makanan di sela-sela giginya maka ia harus mengeluarkan dan membersihkannya dari mulut. Adanya sisa makanan di mulut ini, tidak mempengaruhi keabsahan puasanya, kecuali jika ia menelannya secara sengaja. Apabila ia menelannya dengan sengaja maka hal itu membatalkan puasanya. Adapun jika ia menelan sisa makanan itu karena tidak tahu hukumnya atau karena lupa maka tidak berpengaruh terhadap keabsahan puasanya.. 
(Majmu' Fatawa Syaikh Sholeh al-Fauzan, 2/401)

Allahu a’lam

Boleh Memberikan Fidyah kepada Satu Orang Miskin



Bolehkah memberikan fidyah kepada satu orang miskin?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Aturan baku terkait fidyah adalah firman Allah di surat al-Baqarah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin. (QS. al-Baqarah: 184).

Dalam ayat ini, Allah tidak memberi batasan, berapa orang miskin yang harus diberi fidyah. Karena itu, tidak ada ketentuan, berapa orang miskin yang boleh menerima fidyah.

Ini berbeda dengan cara pembayaran kaffarah sumpah. Allah menentukan angka 10 sebagai jumlah orang miskin yang harus diberi makan karena melanggar sumpah. Allah berfirman,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu..(QS. al-Maidah: 89).

Sementara dalam fidyah, batasan ini tidak ada.
Karena itu, para ulama di kalangan madzhab Syafiiyah, Hambali, dan beberapa ulama Malikiyah, mereka membolehkan menyerahkan fidyah kepada satu orang miskin.
Dalam Kasyaf al-Qana’ dinyatakan,
 وله صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة لظاهر الآية
Boleh membayar fidyah makanan kepada satu orang miskin sekaligus sekali, berdasarkan makna teks ayat. (Kasyaf al-Qana’, 2/313).

Dalam kitab al-Inshaf, al-Mardawi menegaskan bahwa itu dengan sepakat ulama,
يجوز صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة بلا نزاع
Boleh membayar fidyah makanan kepada satu orang miskin sekaligus sekali, tanpa ada perbedaan pendapat  ulama. (al-Inshaf, 3/206).

Allahu a’lam

Itikaf di Mushola Kantor



Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Ustadz,
Kalau itikaf seperti di mushola kantor yang salah satu dari sholat lima waktunya tidak ditegakkan (sholat subuh) dan saat weekend sholat lima waktunya tidak ditegakkan apa masih sah? Apakah tetap tergolong ghairu Jami'?
Barakallahu fiik

Bang Ori

Jawab:
Wa alaikumus salam warahmatullahi wabarakaatuh
Bismillah,

Pertama, ulama sepakat bahwa itikaf hanya boleh dilakukan di masjid.
Ibnul Qatthan mengatakan,
أجمعوا على أن الاعتكاف لا يكون إلا في المسجد
“Ulama sepakat bahwa itikaf hanya bisa dilakukan di masjid.” (al-Iqna fi Masail Ijma’, Ibnul Qatthan, 1/242)
Keterangan lain disampaikan al-Qurthubi,
أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون إلا في مسجد
“Ulama sepakat bahwa itikaf hanya bisa dilakukan di masjid.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/333)

Dalil yang mendukung hal ini adalah firman Allah,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kalian menggauli istri kalian ketika kalian sedang itikaf di masjid.” (QS. al-Baqarah: 187).

Kedua, macam-macam masjid
Pengertian umum dari masjid adalah tempat yang disediakan khusus untuk shalat 5 waktu. Baik untuk shalat jamaah maupun shalat sendirian.
Memahami keterangan para ulama, masjid ada 4 macam:
1. Masjid jami’, itulah masjid yang digunakan untuk jumatan
2. Masjid jamaah, itulah masjid yang aktif digunakan untuk shalat jamaah 5 waktu, tapi tidak digunakan untuk jumatan. Di Indonesia disebut musholah atau Surau.
3. Masjid jamaah tapi tidak aktif 5 waktu. Seperti Musholah kantor atau di kampung ada musholah kecil, disebut langgar.
4. Masjid rumah, hanya digunakan seisi rumah untuk shalat.  
(Syarh al-Umdah, 2/720, al-Majmu’, 6/480).

Ketiga, dari 4 jenis masjid di atas, ulama berbeda pendapat tentang batasan masjid yang boleh dijadikan itikaf.
Pendapat pertama, itikaf bisa dilakukan di semua masjid jamaah.
Semua masjid, baik masjid jami’ (yang digunakan untuk jumatan) maupun masjid jamaah, yang tidak digunakan untuk jumatan, tapi aktif untuk jamaah 5 waktu, seperti mushola.
Ini merupakan pendapat para sahabat dan ulama tabiin, serta pendapat Madzhab hanafi dan hambali.
Syaikhul Islam ketika menyebutkan pendapat ini mengatakan,
وهو قول عامة التابعين ولم ينقل عن صحابي خلافه ، إلا قول من خصّ الاعتكاف بالمساجد الثلاثة أو مسجد نبي
Ini merupakan pendapat mayoritas tabiin, dan tidak dinukil dari sahabat yang menolak pendapat ini, kecuali sahabat yang berpendapat bahwa itikaf hanya bisa di 3 masjid atau masjid nabawi. (Syarh al-Umdah, Bab Shiyam, 2/734).

Pendapat kedua, itikaf hanya boleh dilakukan di masjid jami’
Masjid jami’ adalah masjid yang digunakan untuk jumatan.
Ini merupakan pendapat Ibnu Syihab az-Zuhri dan al-Hakam (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 12/503, 504)
Dan ini merupakan pendapat pertama (qoul qodim) Imam as-Syafii (al-Majmu’, 6/480).

Pendapat ketiga, itikaf boleh dilakukan di semua masjid dengan catatan, tidak melewati hari jumat.
Dia boleh itikaf di masjid jami’ maupun masjid yang bukan jami’. Tapi jika harus melewati hari jumat, dia hanya boleh itikaf di masjid jami’.
Sebagai contoh, ada orang yang itikaf 4 hari, senin – kamis, jumat dia mudik. Dia boleh itikaf di masjid apapun. Tapi jika dia hendak 10 hari penuh, bisa dipastikan melewati jumatan, dia hanya boleh itikaf di masjid jami’.
Ini pendapat Syafiiyah dan Malikiyah.

Pendapat keempat, itikaf hanya boleh di 3 masjid
Masjidil haram, masjidil aqsha, dan masjid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, dan hanya beliau yang berpendapat demikian.

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat pertama, itikaf untuk lelaki bisa dilakukan di semua masjid jamaah. Berdasarkan firman Allah,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kalian menggauli istri kalian ketika kalian sedang itikaf di masjid.” (QS. al-Baqarah: 187).

Dalam ayat itu ada kata al-Masajid [المساجد], isim jamak yang diberi alif lam, maknanya umum, yang artinya semua masjid. Baik masjid jami’ maupun bukan jami’.
Sementara lelaki berkewajiban melaksanakan shalat jamaah 5 waktu. Karena itu, itikafnya harus dilakukan di masjid jamaah. Jika di itikaf di masjid yang jamaahnya tidak rutin, dia akan sering keluar masjid, membatalkan itikafnya dalam rangka shalat jamaah.

Syaikhul Islam mengatakan,
ويصح (الاعتكاف) من المرأة في كل مسجد, ولا يصح من الرجل إلا في مسجد تقام فيه الجماعة, واعتكافه في مسجد تقام فيه الجمعة أفضل
Sah (itikaf) untuk wanita di semua masjid, dan tidak sah bagi lelaki untuk itikaf kecuali di masjid yang diselennggarakan shalat jamaah. Sementara itikaf di masjid yang digunakan untuk jumatan, lebih afdhal.
(Syarh al-Umdah, Bab Shiyam, 2/720)

Keempat, apakah masjid kantor bisa digunakan untuk itikaf?
Masjid atau musholah kantor ada 2:
Jenis pertama, mushola yang gedungnya sewa. Artinya bukan milik umat. Hanya ada hak guna. Semacam ini tidak disebut masjid.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang tempat yang disediakan di kantor untuk shalat 5 waktu, sementara status bangunan kantor itu adalah sewa. Apakah bisa dihukumi masjid? Jawaban beliau,
هذا ليس له حكم المسجد ، هذا مصلى بدليل أنه مملوك للغير وأن مالكه له أن يبيعه ، فهو مصلى وليس مسجدا فلا تثبت له أحكام المسجد
“Tempat semacam ini tidak memiliki hukum masjid, ini tempat shalat biasa, dengan alasan, dimiliki orang lain, dan pemiliknya berhak menjualnya. Ini hanya tempat shalat dan bukan masjid, sehingga tidak memiliki hukum masjid…” (Dari Fatawa Islam no. 4399 ).

Jenis kedua, masjid ini resmi menjadi milik umat, permanen, dan bukan sewa. Hanya saja tidak aktif untuk shalat jamaah 5 waktu. Jika hari libur, shalat jamaahnya libur.
Berdasarkan kesimpulan di atas, itikaf di masjid semacam ini tidak boleh untuk lelaki, tapi boleh untuk wanita. Karena tidak ada kewajiban berjamaah bagi wanita, sementara lelaki wajib melaksanakan shalat 5 waktu berjamaah.

Allahu a’lam