NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Senin, 23 Maret 2015

Barangkali Ada Gaji Kita yang Tidak Berhak Kita Terima



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, 
Untuk anda para karyawan... untuk anda para pegawai...
Pastikan, pekerjaan anda senilai atau bahkan melebihi gaji yang anda terima.
Pastikan, karya anda senilai atau bahkan melebihi upah yang anda dapatkan.
Agar anda semakin yakin, harta yang masuk ke rumah anda, semuanya halal...

Dikisahkan, 
Ada seseorang menemui seorang Imam. Dia mengadukan hidupnya yang serba kekurangan. Dia bercerita, dirinya seorang karyawan yang bekerja di tempat orang lain, dengan gaji 5 dirham. Gaji senilai itu, ternyata tidak cukup.
Anehnya, sang Imam justru menyuruh orang ini untuk meminta agar majikannya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. 
Orang inipun melakukannya. Setelah berselang beberapa waktu, dia datang lagi. Dia masih mengeluhkan keadaannya. Gaji 4 dirham ternyata juga tidak cukup. Masalah belum terselesaikan. 
Sang Imam memberi saran yang sama. Minta kepada majikannya untuk mengurangi gajinya menjadi 3 dirham. 
Diapun meninggalkan sang imam dengan penuh keheranan. Namun dia turuti semua saran Sang Imam. 

Setelah berselang beberapa hari, orang ini datang lagi. Kali ini tidak untuk mengadukan masalahnya, tapi untuk berterima kasih. Ternyata saran Sang Imam telah memberikan solusi untuk kekurangannya. Ternyata 3 dirham sudah mencukupi semua kebutuhannya. Hidupnya menjadi lebih berkah. 
Beliau berterima kasih atas nasehatnya, dan ingin tahu apa rahasianya. Ini semakin sedikit, semakin manfaat baginya. 

Sang imampun mulai menyampaikan nasehatnya, 
Dari awal anda bekerja, anda memang tidak berhak menerima gaji lebih dari 3 dirham. Karena itu, kelebihan 2 dirham (sehingga anda menerima 5 dirham), itu uang yang bukan haknya. Ketika ini bercampur dengan uang halalnya, itu akan mencabut keberkahan dari harta yang dia miliki.  

Imam as-Syafii dalam bait syairnya mengatakan,
ﺟُﻤﻊ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻼ‌ﻝ ﻟﻴﻜﺜﺮﻩ
ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻼ‌ﻝ ﻓﺒﻌﺜﺮﻩ
Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak.
Yang harampun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.

Allahu a’lam
10:31

Minggu, 15 Maret 2015

Nabi Palsu di Iran



Apa benar ada nabi palsu di Iran? Trim’s

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Dulu di Iran (baca: persia), ada seorang tokoh bernama Mazdak. Dia mengaku nabi dan dakwahnya diterima masyarakat. Hingga dia menjadi penasehat spiritual bagi kerajaan persia, yang kala itu dipimpin oleh Kavadh, ayah dari Anusyirwan. Alirannya menguasi Persia 40 tahun sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lahir. Dia menjadi salah satu pioner ajaran Majusi yang mengagungkan api.
Mazdak pernah menyatakan,
إن النور يفعل بالقصد والاختيار والظلمة تفعل على الخبط والاتفاق.
والنور عالم حساس والظلام جاهل أعمى
Cahaya itu diupayakan dan diwujudkan dengan usaha. Sementara kegelapan terjadi tanpa sengaja dan secara tiba-tiba..
Cahaya, sumber ilmu dan kesadaran. Kegelapan merupakan sumber kebodohan dan kebutaan.

Diantara ajaran Mazdak, dia melarang masyarakat untuk berpecah, saling membenci, dan saling memerangi. Mengingat umumnya permusuhan dan kebencian disebabkan wanita dan harta, maka dua benda ini dihukumi mubah, dan menjadi milik bersama. Sehingga semua masyarakat berhak menikmati harta dan wanita yang dimiliki oleh orang lain. Layaknya ikan di lautan, semua orang berhak mengambilnya.
(al-Milal wa an-Nihal, as-Syahrastani, 1/248).

At-Thabari dalam Tarikhnya menyebutkan pengaruh aliran ini,
افترص السفلة ذلك واغتنموا مزدك وأصحابه وشايعوهم، فابتلي الناس بهم وقوي أمرهم حتى كانوا يدخلون على الرجل في داره فيغلبونه على منزله ونسائه وأمواله لا يستطيع الامتناع منهم وحملوا على تزيين ذلك وتوعدوه بخلعه، فلم يلبثوا إلا قليلاً حتى صاروا لا يعرف الرجل ولده ولا المولود أباه، ولا يملك الرجل شيئا مما يتسع به
Para preman mengambil kesempatan ini. Mereka memanfaatkan Mazdak dan pengikutnya, serta bergabung dalam kelompoknya. Mereka bisa menindas masyarakat dan mengusainya. Hingga para preman bebas keluar masuk rumah orang lain, dan mereka boleh mengusai seisi rumah, menggagahi istrinya dan hartanya. sementara pemilik tidak boleh melawan apa yang mereka lakukan. Mazdak dan pengikutnya memotivasi dan memberi janji. Sehingga dalam waktu yang singkat, keadaan menjadi kacau. Seorang ayah tidak tahu mana anaknya dan anak tidak tahu siapa bapaknya. Dan masyarakat sama sekali tidak bisa menikmati apa yang menjadi milik pribadinya. (Tarikh at-Thabari, 1/419).

Setelah Anusyirwan berkuasa, paham Mazdakiyah berangsur-angsur hilang.

Syiah & Majusi Mazdak
Bagi Mazdak dan pengikutnya, menggagahi wanita tanpa menikah, akan meningkatkan keimanan, sebagaimana yang dinyatakan at-Thabari. Kita bisa perhatikan, aqidah semacam ini persis seperti aqidah syiah. Kawin kontrak, nikah mut’ah, hakekatnya adalah kelanjutan dari paham Mazdak. Lelaki bisa menikmati wanita sejam, dua jam, sesuai kesepakatan, selanjutnya cerai setelah waktu berakhir, tanpa konsekuensi apapun. Bagi syiah, setiap orang yang melakukan mut’ah akan semakin meningkat derajatnya. Perzinahan dalam bungkus ‘ibadah’. Mereka merancang banyak hadis palsu yang menyebutkan keutamaan mut’ah. Anda bisa simak penjelasannya dihttp://www.konsultasisyariah.com/nikah-mutah-ajaran-syiah/.
Karena itu, tidak salah jika orang mengatakan, “Syiah itu muatannya Majusi, covernya Islam.”

Semoga Allah melindungi umat islam dari kejahatan syiah.

Allahu a’lam

Minggu, 08 Maret 2015

Mendapatkan Cipratan Warisan



Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya mau tanya mengenai hasil dari hukum waris.

Misalkan dalam satu keluarga ada salah satu anggota keluarga status janda tanpa anak, belum mempunyai pekerjaan dan belum memilik rumah.

Semua anggota keluarga sepakat untuk menjual rumah warisan dari almarhum kedua orang tua. Dari Hasil penjualan rumah dibuat pembagian warisan sesuai hukum agama Islam.

Dari hasil pembagian waris yang sudah diterima, apakah ada kewajiban dari masing-masing anggota keluarga menurut hukum Syariat Islam untuk atau harus membantu salah satu anggota keluarga tersebut diatas yang membutuhkan untuk urunan dana membelikan satu rumah dan modal usaha.

Mohon pencerahan agar saya bicara dengan semua anggota keluarga mempunyai dasar hukum sesuai Syariat Islam.

Terima kasih.

Jawab
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Allah berfirman,
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa: 8)

Ayat ini mengajarkan kepada kita salah satu bentuk latihan kedermawanan dalam hidup. Ketika kita melakukan proses pembagian warisan bersama para ahli waris, Allah mengajarkan agar kita tidak melupakan kerabat atau orang lain yang bukan termasuk ahli waris. Terlebih ketika mereka hadir dalam proses pembagian warisan itu.

Imam as-Sa’di menafsirkan ayat ini,
أعطوهم ما تيسر من هذا المال الذي جاءكم بغير كد ولا تعب، ولا عناء ولا نَصَب، فإن نفوسهم متشوفة إليه، وقلوبهم متطلعة، فاجبروا خواطرهم بما لا يضركم وهو نافعهم.
Berikanlah harta yang tidak memberatkan dirimu. Harta yang kalian dapatkan tanpa usaha keras dan tanpa melalui rasa lelah. Sehingga jiwa mereka (selain ahli waris) sangat berharap mendapatkannya. Karena itu, tutupi angan-angan di hati mereka dengan memberikan sedikit harta yang tidak mengurangi milik kalian, sementara itu sangat bermanfaat bagi mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 165).

Pada umumnya, harta warisan diperoleh para ahli waris tanpa melalui usaha apapun, dan tanpa kerja keras. Sementara umumnya orang lain bisa memprediksi, berapa nilai warisan yang diterima tetangganya. Karena dia tahu tanah sawah, kebun, rumah atau kendaraan yang menjadi warisan tetangganya. Jika tetangga saja tahu, apalagi kerabat dekatnya. Mungkin dia lebih tahu secara detail apa saja harta warisan yang diterima keluarganya. Sementara manusia tidak bisa lepas dari karakter hasad dan dengki dalam dirinya.

Untuk menghilangkan munculnya buruk sangka dari orang lain, terutama kerabat yang tidak mendapat warisan itu, serta meredam peluang munculnya permusuhan karena hasad, Allah perintahkan kita, ‘maka berilah mereka sebagian dari harta itu’ dengan nilai yang tidak memberatkan kita. Sehingga jalinan silaturahmi tetap terjaga. Inilah yang kami sebut dengan cipratan warisan.

Al-Qurthubi membawakan keterangan dari Ibnu Abbas,
أَمَرَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَ قِسْمَةِ مَوَارِيثِهِمْ أَنْ يَصِلُوا أَرْحَامَهُمْ، وَيَتَامَاهُمْ وَمَسَاكِينَهُمْ مِنَ الْوَصِيَّةِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ وَصِيَّةٌ وَصَلَ لَهُمْ مِنَ الْمِيرَاثِ
Allah memerintahkan orang yang beriman ketika membagi warisan, agar tetap menjaga silaturahmi dengan kerabat mereka, atau anak yatim, atau orang miskin, dalam bentuk memberikan wasiat untuk mereka. Jika tidak ada wasiat, hubungan itu dijaga dalam bentuk memberikan cipratan warisan. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)  

Wajib ataukah Sunah?
Pendapat yang benar bahwa ayat ini tidak mansukh dengan ayat warisan dan wasiat. Ini merupakan pendapat sahabat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhum, Urwan bin Zubair dan beberapa ulama tabiin lainnya.
Kemudian, apakah perintah memberikan cipratan warisan kepada selain ahli waris, ini statusnya wajib ataukah anjuran?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat,
Pendapat pertama, perintah ini statusnya wajib sesuai kerelaan hati. Sebagaimana memberikan barang ringan kepada orang yang membutuhkan, yang Allah perintahkan di surat al-Ma’un. Ibnu Katsir menyebutkan beberapa ulama yang berpendapat wajib, diantaranya; Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahu 'anhum, serta Abul Aliyah, as-Syabi, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Said bin Jubair, dan an-Nakha’i.  

Pendapat kedua, perintah ini hukumnya anjuran dan tidak wajib. Dan inilah pendapat
An-Nuhas. beliau mengatakan,
فَهَذَا أَحْسَنُ مَا قِيلَ فِي الْآيَةِ، أَنْ يَكُونَ عَلَى النَّدْبِ وَالتَّرْغِيبِ فِي فِعْلِ الْخَيْرِ، وَالشُّكْرِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Pendapat palig kuat tentang ayat, bahwa hukumnya anjuran dan dorongan untuk melakukan kebaikan da bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla.
Dan pendapat yang dinilai kuat oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
وَالصَّحِيحُ أَنَّ هَذَا عَلَى النَّدْبِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فَرْضًا لَكَانَ اسْتِحْقَاقًا فِي التَّرِكَةِ وَمُشَارَكَةً فِي الْمِيرَاثِ، لِأَحَدِ الْجِهَتَيْنِ مَعْلُومٌ وَلِلْآخَرِ مَجْهُولٌ. وَذَلِكَ مُنَاقِضٌ لِلْحِكْمَةِ، وَسَبَبٌ لِلتَّنَازُعِ وَالتَّقَاطُعِ
Yang benar, ini bersifat anjuran. Karena jika ini hukumnya wajib, tentu mereka berhak mendapatkan warisan dan memiliki bagian untuk mengambil warisan. Hanya saja, ada yang besar nilai warisannya telah ditentukan (yaitu para ahli waris) dan ada yang besar nilai warisannya tidak ditentukan (para kerabat, anak yatim dan orang miskin). Dan jelas ini bertentangan dengan hikmah adanya pembagian warisan dan sebab pemicu permusuhan dan sengketa. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)  

Berdasarkan keterangan di atas, anda boleh bahwa dianjurkan untuk mengajak para saudara yang mendapatkan harta waris, agar menyisihkan sebagian warisan mereka untuk diberikan kepada janda itu. Sebagai perekat ikatan kekeluargaan.

Allahu a’lam
Mendapatkan Cipratan Warisan

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya mau tanya mengenai hasil dari hukum waris.

Misalkan dalam satu keluarga ada salah satu anggota keluarga status janda tanpa anak, belum mempunyai pekerjaan dan belum memilik rumah.

Semua anggota keluarga sepakat untuk menjual rumah warisan dari almarhum kedua orang tua. Dari Hasil penjualan rumah dibuat pembagian warisan sesuai hukum agama Islam.

Dari hasil pembagian waris yang sudah diterima, apakah ada kewajiban dari masing-masing anggota keluarga menurut hukum Syariat Islam untuk atau harus membantu salah satu anggota keluarga tersebut diatas yang membutuhkan untuk urunan dana membelikan satu rumah dan modal usaha.

Mohon pencerahan agar saya bicara dengan semua anggota keluarga mempunyai dasar hukum sesuai Syariat Islam.

Terima kasih.

Jawab
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Allah berfirman,
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa: 8)

Ayat ini mengajarkan kepada kita salah satu bentuk latihan kedermawanan dalam hidup. Ketika kita melakukan proses pembagian warisan bersama para ahli waris, Allah mengajarkan agar kita tidak melupakan kerabat atau orang lain yang bukan termasuk ahli waris. Terlebih ketika mereka hadir dalam proses pembagian warisan itu.

Imam as-Sa’di menafsirkan ayat ini,
أعطوهم ما تيسر من هذا المال الذي جاءكم بغير كد ولا تعب، ولا عناء ولا نَصَب، فإن نفوسهم متشوفة إليه، وقلوبهم متطلعة، فاجبروا خواطرهم بما لا يضركم وهو نافعهم.
Berikanlah harta yang tidak memberatkan dirimu. Harta yang kalian dapatkan tanpa usaha keras dan tanpa melalui rasa lelah. Sehingga jiwa mereka (selain ahli waris) sangat berharap mendapatkannya. Karena itu, tutupi angan-angan di hati mereka dengan memberikan sedikit harta yang tidak mengurangi milik kalian, sementara itu sangat bermanfaat bagi mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 165).

Pada umumnya, harta warisan diperoleh para ahli waris tanpa melalui usaha apapun, dan tanpa kerja keras. Sementara umumnya orang lain bisa memprediksi, berapa nilai warisan yang diterima tetangganya. Karena dia tahu tanah sawah, kebun, rumah atau kendaraan yang menjadi warisan tetangganya. Jika tetangga saja tahu, apalagi kerabat dekatnya. Mungkin dia lebih tahu secara detail apa saja harta warisan yang diterima keluarganya. Sementara manusia tidak bisa lepas dari karakter hasad dan dengki dalam dirinya.

Untuk menghilangkan munculnya buruk sangka dari orang lain, terutama kerabat yang tidak mendapat warisan itu, serta meredam peluang munculnya permusuhan karena hasad, Allah perintahkan kita, ‘maka berilah mereka sebagian dari harta itu’ dengan nilai yang tidak memberatkan kita. Sehingga jalinan silaturahmi tetap terjaga. Inilah yang kami sebut dengan cipratan warisan.

Al-Qurthubi membawakan keterangan dari Ibnu Abbas,
أَمَرَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَ قِسْمَةِ مَوَارِيثِهِمْ أَنْ يَصِلُوا أَرْحَامَهُمْ، وَيَتَامَاهُمْ وَمَسَاكِينَهُمْ مِنَ الْوَصِيَّةِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ وَصِيَّةٌ وَصَلَ لَهُمْ مِنَ الْمِيرَاثِ
Allah memerintahkan orang yang beriman ketika membagi warisan, agar tetap menjaga silaturahmi dengan kerabat mereka, atau anak yatim, atau orang miskin, dalam bentuk memberikan wasiat untuk mereka. Jika tidak ada wasiat, hubungan itu dijaga dalam bentuk memberikan cipratan warisan. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)  

Wajib ataukah Sunah?
Pendapat yang benar bahwa ayat ini tidak mansukh dengan ayat warisan dan wasiat. Ini merupakan pendapat sahabat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhum, Urwan bin Zubair dan beberapa ulama tabiin lainnya.
Kemudian, apakah perintah memberikan cipratan warisan kepada selain ahli waris, ini statusnya wajib ataukah anjuran?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat,
Pendapat pertama, perintah ini statusnya wajib sesuai kerelaan hati. Sebagaimana memberikan barang ringan kepada orang yang membutuhkan, yang Allah perintahkan di surat al-Ma’un. Ibnu Katsir menyebutkan beberapa ulama yang berpendapat wajib, diantaranya; Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahu 'anhum, serta Abul Aliyah, as-Syabi, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Said bin Jubair, dan an-Nakha’i.  

Pendapat kedua, perintah ini hukumnya anjuran dan tidak wajib. Dan inilah pendapat
An-Nuhas. beliau mengatakan,
فَهَذَا أَحْسَنُ مَا قِيلَ فِي الْآيَةِ، أَنْ يَكُونَ عَلَى النَّدْبِ وَالتَّرْغِيبِ فِي فِعْلِ الْخَيْرِ، وَالشُّكْرِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Pendapat palig kuat tentang ayat, bahwa hukumnya anjuran dan dorongan untuk melakukan kebaikan da bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla.
Dan pendapat yang dinilai kuat oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
وَالصَّحِيحُ أَنَّ هَذَا عَلَى النَّدْبِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فَرْضًا لَكَانَ اسْتِحْقَاقًا فِي التَّرِكَةِ وَمُشَارَكَةً فِي الْمِيرَاثِ، لِأَحَدِ الْجِهَتَيْنِ مَعْلُومٌ وَلِلْآخَرِ مَجْهُولٌ. وَذَلِكَ مُنَاقِضٌ لِلْحِكْمَةِ، وَسَبَبٌ لِلتَّنَازُعِ وَالتَّقَاطُعِ
Yang benar, ini bersifat anjuran. Karena jika ini hukumnya wajib, tentu mereka berhak mendapatkan warisan dan memiliki bagian untuk mengambil warisan. Hanya saja, ada yang besar nilai warisannya telah ditentukan (yaitu para ahli waris) dan ada yang besar nilai warisannya tidak ditentukan (para kerabat, anak yatim dan orang miskin). Dan jelas ini bertentangan dengan hikmah adanya pembagian warisan dan sebab pemicu permusuhan dan sengketa. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)  

Berdasarkan keterangan di atas, anda boleh bahwa dianjurkan untuk mengajak para saudara yang mendapatkan harta waris, agar menyisihkan sebagian warisan mereka untuk diberikan kepada janda itu. Sebagai perekat ikatan kekeluargaan.

Allahu a’lam

Qurban hari Sabtu, Shalat Hari Raya Ahad



Bolehkah menyembelih qurban hari sabtu, sementara saya ikut shalat hari ahad?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du
Qurban adalah ibadah yang terikat dengan banyak aturan. Qurban bukan semata menyembelih hewan, namun qurban adalah rangkaian ibadah menyembelih hewan.
Diantara aturan dalam qurban, menyembelih baru boleh dilakukan jika pemilik hewan telah melaksanakan shalat id.
Dari al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
Siapa yang melaksanakan shalat id dan berqurban sesuai aturan kami, maka dia telah mengamalkan qurban yang benar. Dan siapa yang menyembelih qurban sebelum shalat, maka sembelihannya sebelum shalat, dan dia tidak dianggap melaksanakan qurban. (HR. Bukhari 912).

Kejadian menyembelih qurban sebelum shalat, pernah dialami oleh sahabat Abu Burdah bin Niyar – pamannya al-Barra’ bin Azib –, dia menyembelih hewan qurbannya sebelum berangkat ke lapangan, dengan harapan bisa segera sarapan dengan daging qurban. Dia mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ
 Ya Rasulullah, saya menyembelih kambingku sebelum shalat. Karena saya tahu ini hari makan dan minum. Saya ingin agar kambingku pertama kali disembelih di rumahku. Sayapun menyembelih kambingku, dan saya sarapan dengannnya sebelum berangkat shalat.
Apa jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?
Beliau mengatakan,
شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
“Kambingmu hanya kambing daging.” (HR. Bukhari 912)

Yang dimaksud, ‘kambingmu hanya kambing daging’
Artinya dia tidak dinilai berqurban, sehingga tidak mendapatkan pahala berqurban. Meskipun daging hewan yang disembelih itu halal dimakan. Karena tidak sah sebagai qurban, bukan berarti dia menjadi tidak halal untuk dimakan. Selama cara penyembelihannya benar, hewan itu halal dimakan.

Contoh Kasus lain:
Diantara syarat sah qurban adalah syarat yang terkait kepemilikan hewan. Sapi maksimal dimiliki 7 orang dan kambing hanya boleh dimiliki satu orang. Jika lebih dari itu, maka tidak memenuhi syarat sah kepemilikan.
Sekelompok siswa atau mahasiswa urunan 50 orang untuk membeli seekor kambing atau seekor sapi, kemudian disembelih di hari qurban, ini tidak dinilai sebagai qurban.
Jika itu bukan qurban, lalu apa statusnya?
Jawabannya:
Statusnya sembelihan biasa. Dagingnya halal dimakan, jika cara menyembelihnya benar. Meskipun tidak dihitung sebagai qurban.

Allahu a’lam

Hari yang Paling Banyak Allah Bebaskan Hamba dari Neraka



Benarkah hari arafah paling banyak Allah membebaskan dari neraka?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du
Terdapat dalam hadis dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Tidak ada satu hari di mana Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka, melebihi hari arafah. Sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Allah membanggakan mereka di hadapan para Malaikat. Allah berfirman, ‘Apa yang mereka inginkan?’ (HR. Muslim 3354, Nasai 3003, dan yang lainnya).

Di hari arafah, Allah membanggakan para hamba-Nya yang wukuf di arafah. Karena mereka rela melepaskan semua atribut dunia dan kenikmatan dunia, untuk berkumpul di arafah.
Kita bisa membayangkan kondisi arafah di zaman para sahabat. Jangan anda bayangkan bahwa kondisi mereka seperti jemaah haji kita saat ini. Jemaah haji Indonesia hanya menempuh 10 jam untuk tiba di tanah suci, sedangkan para sahabat harus menempuhnya kurang lebih dalam 10 hari. Jemaah kita menaiki pesawat yang full AC, sedangkan para sahabat hanya mengendarai unta dengan terpaan hawa panas gurun sahara.
Dapat dipastikan bahwa setelah 10 hari lebih dalam keadaan ihram, rambut mereka pasti kusut dan berdebu.
Mereka juga tidak tinggal dalam kemah yang sejuk dengan makanan yang melimpah. Mayoritas sahabat -termasuk Rasulullah- justru melalui hari yang demikian terik tadi tanpa naungan apapun.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً
Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membanggakan orang yang wukuf di Arafah pada siang hari arafah. Allah berfirman, ‘Lihatlah kepada para hamba-Ku. Mereka mendatangi-Ku dengan rambut kusut dan badan berdebu.’ (HR. Ahmad 7288 dan dishahihkan al-Albani).

Singkatnya, pada hari itu terkumpullah pada mereka sejumlah faktor penting penyebab terkabulnya doa. Mulai dari kondisi yang memprihatinkan, waktu dan tempat yang mulia, hingga dekatnya Allah kepada mereka.
Di saat itulah, doa menjadi sangat mustajab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Sebaik-baik doa, adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan oleh para nabi sebelumku, adalah
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
“Tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya. MilikNya semua kerajaan, dan bagiNya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu (HR. Tirmidzi 3934 dan dihasankan al-Albani).

Semoga Allah memudahka kita untuk menyusul mereka yang mendahului kita dalam kebaikan. 

Meluruskan Istilah Haji Akbar (Bagian 02)



Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, amma ba'du,

Kita telah membahas pengertian haji akbar. Kita masih meninggalkan 3 catatan lagi terkait istilah haji akbar.
Keempat , mengapa hari nahr (hari kurban) disebut hari haji akbar?
Jika kita perhatikan, praktek yang dilakukan jamaah haji ketika tanggal 9 Dzulhijjah dengan praktek yang dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah, jauh lebih banyak praktek yang dilakukan di tanggal 10 Dzulhijjah. Sehingga jamaah haji berada pada posisi sangat padat kegiatan, ketika masuk tanggal 10 Dzulhijjah (hari kurban). Berbagai kegiatan itu telah dimulai sejak malam tanggal 10 Dzulhijjah.
Di awal malam, mereka mulai meninggalkan wukuf atau ada yang masih wukuf,
Hingga tengah malam, mereka mabit di Muzdalifah,
Siang harinya mereka melakukan lempar jumrah, menyembelih hewan, thawaf ifadhah, sai, dan mencukur rambut.
Lajnah Daimah menjelaskan,
وسمي يوم النحر يوم الحج الأكبر; لما في ليلته من الوقوف بعرفة, والمبيت بالمشعر الحرام, والرمي في نهاره, والنحر, والحلق, والطواف, والسعي من أعمال الحج, ويوم الحج هو الزمن, والحج الأكبر هو العمل فيه
Hari kurban (hari nahr) disebut haji akbar, karena sejak malamnya beranjak dari tempat wukuf di arafah, dan mabit di al-Masy'aril Haram, sementara siang harinnya banyak melakukan amalan haji, melempar jumrah, menyembelih hewan, mencukur rambut, thawaf, dan sai. Hari berhaji adalah waktu, sementara haji akbar adalah kegiatan yang dilakukan di waktu haji.

Kelima , tidak ditemukan adalah dalil yang menunjukkan bahwa pengertian haji akbar adalah hari arafah yang bertepatan dengan wukuf hari jumat. Bahkan sebagian ulama mengingkari pemahaman ini. Karena sama sekali tidak ada dasarnya. Diantaranya al-Mubarokfuri. Dalam Syarh Sunan Turmudzi, beliau mengatakan,
تنبيه قد اشتهر بين العوام أن يوم عرفة إذا وافق يوم الجمعة كان الحج حجا أكبر ولا أصل له
Catatan: terkenal di kalangan masyarakat umum bahwa ketika hari arafah bertepatan dengan hari jumat, maka haji ketika itu disebut haji akbar. Dan ini sama sekali tidak ada dalilnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/27).
Memang benar, sebagian ulama lebih mengistimewakan hari arafah yang bertepatan dengan hari jumat. Meskipun demikian, mereka tidak menyebut hari arafah itu sebagai haji akbar.
Mengapa hari arafah yang bertepatan dengan hari jumat nilainya lebih istimewa?
Ada beberapa alasan,
1.       Karena hari jumat adalah hari yang istimewa. Karena hari jumat adalah Sayyidul Ayyam (pemimpin semua hari). Sehingga wukuf di hari itu, akumulasi dua hari istimewa dalam islam, hari arafah dan hari jumat.  
2.       Bertepatan dengan hari wukufnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga lebih menyamai sunah beliau.
3.       Doa di hari jumat, terutama di penghujung hari adalah doa yang mustajab. Sementara kegiatan orang yang wukuf di Arafah, banyak dihabiskan untuk berdoa. Sehingga ada kesempatan besar dikabulkan.

Keenam , makna haji asghar
Haji akbar artinya haji besar. Ada istilah haji akbar, berarti di sana ada haji asghar (haji kecil). Sebagaimana para ulama berbeda pendapat tentang makna haji akbar, mereka juga berbeda pendapat tentang arti haji asghar. Berikut diataranya,
1.       Haji Asghar adalah umrah, ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya as-Sya'bi, dan Atha '.
2.       Haji Asghar adalah hari arafah (9 Dzulhijjah). Kebalikan haji akbar yang berarti hari kurban (10 Dzulhijjah)
3.       Haji Asghar adalah haji ifrad dan haji akbar adalah haji qiran.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
اختلف في المراد بالحج الأصغر فالجمهور على أنه العمرة وقيل الحج الأصغر يوم عرفة والحج الأكبر يوم النحر, لأن فيه تكتمل بقية المناسك
Ulama berbeda pendapat tentang makna haji asghar. Mayoritas ulama mengatakan, maksud haji asghar adalah umrah. Ada juga yang mengatakan, haji asghar adalah hari arafah, dan haji akbar adalah hari kurban. Karena pada hari kurban (10 Dzulhijjah) kegiatan manasik sempurna. (Fathul Bari, 8/321)

Demikian, semoga bermanfaat ..

Meluruskan Istilah Haji Akbar (Bagian 01)



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Segala puji bagi Allah yang mengajarkan semua nama dan istilah kepada Nabi Adam ‘'alaihis salam. Segala puji bagi Allah yang mengajarkan kita berbicara, yang menjadi pembeda antara kita dengan binatang. Dengan nikmat ini kita bisa menyebut berbagai benda dan keadaan di sekitar kita, sesuai dengan apa yang diajarkan.
Kita bisa menyebut ini bapak, ini ibu, ini baju, ini sandal, ini motor, ini kuda, dst,, karena orang tua yang mengajarkan. Demikian pula, kita bisa menyebut ini shalat, ini puasa, ini zakat, ini haji, dst, karena syariat yang mengajarkan. Oleh karena itu, bukan termasuk sikap yang baik, ketika seseorang menggunakan istilah untuk makna yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan.

Haji Akbar, saat ini menjadi salah satu istilah yang ramai dibicarakan masyarakat. dan kita bisa memahami penyebabnya, karena pemerintah saudi menetapkan hari arafah jatuh ada tanggal 3 oktober tepatnya di hari jumat.

Istilah haji akbar adalah istilah yang benar. Kita tidak mengingkari keberadaan istilah ini. Karena istilah ini ada dalam al-Quran dan hadis. Hanya saja, ada sebagian kaum muslimin yang memahami istilah ini dengan pemahaman yang tidak benar. Berikut kita akan memahami beberpaa catatan tentang istilah haji akbar,
Pertama, bahwa istilah haji akbar adalah istilah syariah. Istilah ini Allah sebutkan dalam al-Quran dan juga disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadis. Allah berfirman,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Inilah suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (QS. At-Taubah: 3)
Kemudian, dalam hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَفَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الْجَمَرَاتِ فِى الْحَجَّةِ الَّتِى حَجَّ فَقَالَ « أَىُّ يَوْمٍ هَذَا ». قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِ. قَالَ « هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari nahr (idul adha) beliau berdiri diantara tempat melempar jumrah, ketika haji wada’. Kemudian beliau bertanya, “Sekarang hari apa?”
“Hari Nahr (hari idul adha).” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Ini adalah hari haji akbar.” (HR. Bukhari 1742, Abu Daud 1947, dan yang lainnya).

Oleh karena itu, sikap ekstrim dari sebagian dai yang menyatakan, ‘haji akbar itu tidak ada’, ‘tidak ada istilah haji akbar’, atau kalimat pengingkaran yang lainnya, ini jelas sikap yang tidak dibenarkan. Karena istilah ini ada dalam al-Quran dan hadis yang shahih, tidak mungkin diingkari.

Kedua, bersama ayat haji akbar
Allah berfirman,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Inilah suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (QS. At-Taubah: 3)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan haji wada’ di tahun 10 H. Di tahun sebelumnya, tahun 9 H, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr, Ali dan beberapa sahabat lainnya untuk pergi ke Mekah. Apa misi mereka? Tugas mereka adalah menyampaikan surat at-Taubah. Artinya, surat ini turun sebelum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan ibadah haji wada’. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan di tafsir at-Taubah,
وأول هذه السورة الكريمة نزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، لما رجع من غزوة تبوك وهم بالحج، ثم ذُكر أن المشركين يحضرون عامهم هذا الموسم على عادتهم في ذلك، وأنهم يطوفون بالبيت عراة فكره مخالطتهم، فبعث أبا بكر الصديق، رضي الله عنه، أميرًا على الحج هذه السنة، ليقيم للناس مناسكهم، ويعلم المشركين ألا يحجوا بعد عامهم هذا، وأن ينادي في الناس ببراءة
Bagian awal surat ini turun kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sepulang beliau dari Tabuk, dan mereka hendak berhaji. Kemudian disampaikan bahwa umumnya orang musyrikin melakukan haji di periode ini sesuai kebiasaan mereka. Dan mereka thawaf di Ka’bah sambil telanjang. Beliaupun tidak suka untuk berhaji bersama mereka. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr as-Shiddiq untuk menjadi Amir Haji di tahun ini (th. 9 H). Membimbing manusia melakukan manasik dan memberi tahu orang musyrik agar mereka tidak melakukan haji setelah tahun ini. Dan mengumumkan kepada orang musyrik permusuhan dari Allah dan Rasul-Nya. (Tafsir Ibn Katsir, 4/102)

Kenyataan ini menunjukkan bahwa istilah haji akbar tidak ada hubungannya dengan haji wada’ yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Istilah haji akbar telah ada sebelum beliau melaksanakan haji wada’.

Ketiga, ulama berbeda pendapat tentang arti istilah ‘haji akbar’ yang disebutkan di ayat dan hadis di atas.
Pendapat pertama, hari haji akbar adalah hari wukuf di arafah. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Imam as-Syafii. Beliau beralasan, bahwa inti haji adalah arafah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Inti haji adalah arafah.” (HR. Ahmad 19287, Nasai 3016, Turmudzi 889,  dan yang lainnya)
Pendapat kedua, hari haji akbar adalah hari idul adha. Ini penndapat mayoritas ulama, diantaranya Imam Malik dan Imam as-Syafii dalam salah satu pendapat.
An-Nawawi menyebutkan perbedaan pendapat ini,
وقد اختلف العلماء في المراد بيوم الحج الأكبر فقيل يوم عرفه وقال مالك والشافعي والجمهور هو يوم النحر ونقل القاضي عياض عن الشافعي أنه يوم عرفة وهذا خلاف المعروف من مذهب الشافعي
Ulama berbeda pendapat tentang makna hari haji akbar. Ada yang mengatakan, hari arafah. Imam Malik, as-Syafii dan mayoritas ulama mengatakan hari nahr (idul adha). Sementara al-Qadhi Iyadh menukil keterangan dari as-Syafii bahwa hari haji akbar adala hari arafah. Dan ini perbedaan pendapat yang makruf di kalangan madzhab Syafii. (Syarh Shahih Muslim, 9/116).
Pendapat ketiga, haji akbar adalah seluruh hari selama pelaksanaan haji. Ini adalah pendapat Sufyan at-Tsauri (Zadul Masir, 3/148).

Dari ketiga pendapat ini, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hari haji akbar adalah hari nahr (idul adha). Ada beberapa dalil yang menguatkan pendapat ini,
1.       Tafsir ayat yang menyebutkan istilah haji akbar. Ayat ini turun berkaitan dengan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada beberapa sahabat, diantaranya Abu Bakr as-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhum untuk mengumumkan kepada penduduk Mekah, tidak boleh lagi ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh lagi masuk masjid sambil telanjang. Dan pengumuman ini terjadi pada saat hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
2.       Keterangan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
أن أبا بكر رضي الله عنه بعثه في الحجة التي أمره رسول الله صلى الله عليه و سلم عليها قبل حجة الوداع في رهط يؤذن في الناس أن لا يحجن بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
Bahwa dalam misi haji yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum haji wada’, yang diikuti beberapa sahabat, Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu mengutus Abu Hurairah untuk mengumumkan kepada umat manusia, bahwa oranng musyrik tidak boleh melakukan haji setelah tahun ini, dan tidak boleh melakukan thawaf sambil telanjang. (HR. Bukhari 4380 & Muslim 3353).
Kata Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam shahihnya setelah membawakan riwayat di atas,
فكان حميد يقول يوم النحر يوم الحج الأكبر من أجل حديث أبي هريرة
Karena itu, Humaid mengatakan, hari nahr (idul adha) adalah hari haji akbar. Berdasarkan hadis Abu Hurairah.

3.       Keterangan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَفَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الْجَمَرَاتِ فِى الْحَجَّةِ الَّتِى حَجَّ فَقَالَ « أَىُّ يَوْمٍ هَذَا ». قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِ. قَالَ « هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari nahr (idul adha) beliau berdiri diantara tempat melempar jumrah, ketika haji wada’. Kemudian beliau bertanya, “Sekarang hari apa?”
“Hari Nahr (hari idul adha).” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah hari haji akbar.” (HR. Bukhari 1742, Abu Daud 1947, dan yang lainnya).
4.       Keterangan dari Murrah at-Thayyib, dari salah seorang sahabat, beliau menceritakan,
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ النَّحْرِ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ حَمْرَاءَ مُخَضْرَمَةٍ فَقَالَ « هَذَا يَوْمُ النَّحْرِ وَهَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari nahr (idul adha) di atas ontanya,
هَذَا يَوْمُ النَّحْرِ وَهَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ
 Ini hari nahr, dan ini hari haji akbar. (HR. Ahmad 16306).
5.       Keterangan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ يَوْمِ الْحَجِّ الأَكْبَرِ فَقَالَ « يَوْمُ النَّحْرِ »
Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari haji akbar. Beliau bersabda, ‘Itu hari an-Nahr (idul adha).’ (HR. Turmudzi 957 dan dishahihkan al-Albani).
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan batasan hari haji akbar maka selayaknya kita mengikuti apa yang yang beliau sampaikan dan tidak menetapkan pendapat yang baru.
Demikian, semoga bermanfaat. Bersambung hingga catatan ke-6, insyaaAllah