NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Senin, 10 November 2014

Mengenal Sunah Ab’adh dan Sunah Haiat


Assalamu'alaikum Pak,
Dalam sebuah diskusi dengan teman-teman, yg membahas tentang shalat, muncul istilah sunnah ab'adh dan sunnah haiat di dalam shalat. Dikatakan bahwa sunnah ab'adh bila ditinggalkan maka harus melakukan sujud sahwi sebelum salam. Sedang sunnah haiat bila ditinggalkan tidak perlu sujud sahwi. Yang termasuk sunnah ab'adh adalah tasyahud awal beserta shalawat dan duduknya; qunut shubuh.
Ketika saya tanyakan, apakah rukun dan wajib shalat juga ada yg ab'adh dan haiat. Apakah berdosa ketika lupa tidak qunut shubuh, kemudian sebelum salam dia tidak melakukan sujud sahwi ? Ataukah malah shalatnya batal ?
Tidak ada jawaban di diskusi tersebut.
Saya mencari keterangan di Yufid, tidak menemukannya. Mohon kiranya Pak Ammi bisa menerangkan sunah ab'adh dan haiat dalam shalat. 
Jazakallahu khairan.
Nuwun,

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Istilah sunah ab’adh dan sunah haiat adalah istilah fiqh yang ada dalam madzhab syafiiyah. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وأبعاض الصّلاة في اصطلاح الشّافعيّة : هي السّنن الّتي تجبر بسجود السّهو ، وهي القنوت في الصّبح ، أو في وتر نصف رمضان ، والقيام له ، والتّشهّد الأوّل ، وقعوده ، والصّلاة على النّبيّ صلى الله عليه وسلم على الأظهر
Suah ab’adh dalam shalat adalah istilah syafiiyah. Itulah amalan-amalan shalat yang bisa ditutupi dengan sujud sahwi. Diantaranya, qunut ketika subuh, atau ketika witir di pertengahan Ramadhan, berdiri ketika qunut, bacaan tasyahud awal, duduk tasyahud awal, dan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut pendapat yang kuat. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 8/126)

Istilah sunah ab’adh dan Haiat dalam hanya berlaku untuk bagian yang dikerjakan di tengah shalat, bukan sebelum atau sesudahnya.
Dalam al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, dinyatakan,
تنقسم سنن الصلاة الى سنن تؤدى قبل الصلاة وسنن تؤدى في أثنائها، وسنن تؤدى عقبها،
كما تقسم السنن التي تؤدى داخل الصلاة الى سنن أبعاض وسنن هيئات.
Sunah-sunah dalam shalat dibagi menjadi:
a.       sunah yang dikerjakan sebelum shalat
b.      sunah yang dikerjakan ketika shalat dan
c.       sunah yang dikerjakan setelah shalat.
Dan sunah yang dikerjakan di dalam shalat dibagi menjadi sunah ab’adh dan sunah haiat.
(al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, 1/307 – 309)

Unsur Shalat Dalam Madzhab Syafiiyah
Dalam madzhab Syafiiyah, unsur shalat ada 3:
a.       Rukun shalat: itulah bagian penyusun utama shalat. Jika ditinggalkan, shalat dianggap tidak ada. Menurut sebagian ulama Syafiiyah, rukun shalat ada 13 rukun.
b.      Sunah Ab’adh, sesuatu (gerakan atau bacaan) yang harus dikerjakan dalam shalat. Dan jika ditinggalkan, maka ditutupi dengan sujud sahwi. 
c.       Sunah Haiat, sesuatu (gerakan atau bacaan) yang harus disyariatkan untuk dikerjakan dalam shalat, dan jika ditinggalkan, tidak perlu sujud sahwi.
(al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, 1/307 – 309)

Mengapa Dinamakan Sunah Ab’adh?
Ab’adh [arab: أبعاضاً] adalah bentuk jamak dari kata ba’dh [arab: بعض], yang artinya bagian. Semantara Haiat [arab: هيئات], bentuk jamak dari haiah [arab:هيئة] yang artinya bentuk atau cara. Dalam Ensikolpedi Fiqh dinyatakan,
وسمّيت أبعاضاً ، لأنّها لمّا تأكّدت بالجبر بالسّجود أشبهت الأبعاض الحقيقيّة ، وهي الأركان . وما عداها من السّنن يسمّى هيئاتٍ لا تجبر بسجود السّهو ، ولا يشرع لها
Dinamakan sunah ab’adh, karena harus ditutupi dengan sujud sahwi, mirip dengan bagian asli dalam shalat, yaitu rukun. Sementara gerakan atau bacaan shalat selain itu, disebut haiat, tidak perlu ditutupi dengan sujud sahwi dan tidak disyariatkan untuk diberi sujud sahwi. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 8/126)

Beda Sunah Haiat dan Sunah Ab’adh
Ulama Syafiiyah membedakan antara sunah ab’adh dengan sunah haiat sebagai berikut,
[1] Sunah ab’adh wajib ditutupi dengan sujud sahwi (jika ditinggalkan secara tidak sengaja), berbeda dengan sunah haiat, yang tidak perlu ditutupi sujud sahwi, karena tidak dalil yang menyebutkan hal ini.
[2] Sunah ab’adh sifatnya independen, berdiri sendiri. Sementara sunah haiat tidak berdiri sendiri, namun dia mengikuti rukun, seperti bacaan takbir, tasbih, atau doa-doa di setiap rukun.
[3] Sunah ab’adh memiliki posisi khusus dalam shalat, dan tidak mengikuti yang lain.; sementara sunah haiat, tidak memiliki tempat khusus, namun dia bergabung bersama rukun.  
[4] Sunah ab’adh tidak dituntunka untuk dilakukan di luar shalat. Selain bacaan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berbeda dengan sunah haiat, seperti bacaan takbir, tasbih, dan beberapa dzikir dalam shalat, juga disyariatkan untuk dilakukan di luar shalat.
(al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 8/126)

Rincian Sunah ab'adh Dalam Shalat,
Dalam al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, disebutkan rincian bacaan dan gerakan yang masuk sunah ab’adh,
1. Duduk tasyahud awal
2. Bacaan tasyahud awal, mulai at-Tahiyatu lillaah... sampai wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh,
3. Bacaan shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah membaca tasyahud awal. Yaitu membaca Allahumma shalli ‘ala Muhammad.
4. Bacaan shalawat untuk keluarga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah membaca tasyahud akhir. Mulai wa ‘ala Aali Muhammad sampai innaka hamidum majid.
5. Qunut ketika i'tidal di rakaat kedua shalat subuh dan ketika witir pasca pertengahan ramadhan.
6. Berdiri ketika qunut.
(al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, 1/309)

Konsekuensi Meninggalkan Sunah Ab’adh dan Haiat
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
ويكره ترك البعض عمداً عند الشّافعيّة، ولا تبطل الصّلاة به ، ويسجد للسّهو ندباً بتركه ، كما يسجد كذلك بتركه نسياناً في المعتمد عندهم ، لأنّ الخلل حاصل في الحالتين ، بل خلل العمد أكثر ، فكان للجبر أحوج . والمرجوح لديهم أنّه إن ترك عمداً فلا يسجد لتقصيره بتفويت السّنّة على نفسه ، بخلاف النّاسي فإنّه معذور ، فناسب أن يشرع له الجبر .
Makruh meninggalkan sunah ab’adh secara sengaja menurut syafiiyah. Dan tidak membatalkan shalat, dan dianjurkan melakukan sujud sahwi karena meninggalkan sunah ab’adh. Sebagaimana juga dianjurkan sujud sahwi karena lupa meninggalkan sunah ab’adh. Karena dalam kedua keadaan di atas, terjadi kekurangan. Bahkan kekurangan karena disengaja lebih membutuhkan sujud sahwi.
Dan ada pendapat yang lemah dalam madzhab syafiiyah, bahwa jika dia meninggalkan sunah ab’adh secara sengaja, tidak perlu sujud sahwi, karena dia sengaja meninggalkan sunah itu pada dirinya. Berbeda dengan orang yang lupa, yang dia memiliki udzur. Sehingga layak jika dia disyariatkan untuk menutupinya (dengan sujud sahwi). (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 8/126)


Istilah Lain untuk Sunah Ab’adh dan Sunah Haiat
Sebagaimana ditegaskan di awal, sunah ab’adh dan sunah haiat adalah istilah yang berlu dalam madzhab syafiiyah, terkait fikih shalat. Dalam madzhab hanafi dan hambali, istilah lain untuk sunah ab’adh adalah wajib shalat dan sunah haiat diistilahkan dengan sunah shalat.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وَيُقَابِل الْبَعْضُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ الْوَاجِبَ... وَتَبْطُل صَلاَتُهُ إِذَا تَرَكَ الْوَاجِبَ عَمْدًا عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ، وَيَجِبُ سُجُودُ السَّهْوِ عِنْدَ الْفَرِيقَيْنِ إِذَا تَرَكَ الْوَاجِبَ نِسْيَانًا
Padanan istilah untuk sunah ab’adh menurut hanafiyah dan hambali adalah kata wajib.... seseorang shalatnya batal jika dia meninggalkan yang wajib secara sengaja menurut madzhab hambali, dan wajib sujud sahwi menurut hanafi dan hambali, jika meninggalkannya karena lupa. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 8/127).

Demikian,

Allahu a’lam

Batasan Bela Diri yang Sesuai Syariat



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Pada dasarnya bela diri hukumnya mubah. Bahkan jika latihan ini dilakukan dalam rangka menyiapkan diri untuk ber jihad, termasuk i’dad (mempersiapkan) yang Allah perintahkan.
Allah berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Persiapkanlah untuk menghadapi mereka, segala kekuatan yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu (QS. at-Taubah: 60)

Dan semua amal tergantung dari niatnya. Ketika latihan bela diri dilakukan dalam rangka menyiapkan diri untuk berjihad membela kebenaran, insyaaAllah bernilai pahala. Namun jika sebatas hobi dan yang penting happy, jelas tidak ada sisi pahalanya. Dan yang lebih penting, jangan sampai latihan bela diri ini mengantarkan anda kepada kemaksiatan.
Untuk itu, kita akan menyimak beberapa batasan syariat, agar latihan bela diri tidak menjadi sumber dosa.
Pertama, bela diri hanya olah raga dan permainan. Untuk itu, sikapi latihan ini layaknya olah raga dan bukan aliran kepercayaan. Sehingga tidak boleh dijadikan standar al-wala wal bara’ (loyal dan benci).
Jangan sampai anda memusuhi muslim yang lain, hanya karena beda perguruan bela diri.  Sebaliknya, anda juga tidak boleh loyal dengan orang kafir dan orang musyrik, hanya karena dia teman seperguruan dalam latihan bela diri.
Realita pahit yang bisa kita saksikan di masyarakat, perguruan dan padepokan bela diri, telah dijadikan standar loyalitas. Kita tidak tahu, sampai kapan perguruan merpati putih akan akur dengan perguruan setia hati. Kita juga tidak tahu, sampai kapan taekwondo akan menghentikan perang dingin dengan karateka.
Masing-masing punya gengsi tersendiri. Dan masing-masing sangat membanggakan perguruannya. Bisa jadi, ini muncul karena dituggangi doktrin ideologi dari perguruannya.
Namun apapun itu, islam melarang membangun loyalitas karena latar belakang suku, keelompok, apalagi hanya sebatas perguruan bela diri. Karena ini loyalitas model jahiliyah. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah manyampaikan khutbah,
أَلا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمِيَّ
Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang menjadi tradisi jahiliyah, ditaruh di bawah kakiku. (HR. Muslim 3009, Abu Daud 1907 dan yang lainnya).

Karena itulah, orang yang mati karena latar belakang kesukuan atau loyalitas kelompok, digolongkan sebagaimana mati gaya jahiliyah.
Dari Jundub bin Abdillah al-Bajali Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Siapa yang terbunuh karena latar belakang yang tidak jelas, menghidupkan semangat kesukuan atau membela kelompok, maka dia mati dalam kondisi jahiliyah. (HR. Muslim 1850).

Loyalitas yang diajarkan islam adalah loyalitas yang dibangun di atas iman dan islam. Allah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu. (QS. al-Hujurat: 10)

Kedua, hindari semua yang berbau klenik dan kesyirikan
Salah satu sarang menyusupnya klenik dan kesyirikan adalah kegiatan bela diri. Terutama yang banyak mengandalkan olah pernapasan. Terlebih, umumnya peserta bela diri, mereka memiliki latar belakang ingin memiliki kekuatan dan kesaktian.
Mungkin yang menjadi pertannyaan adalah bagaimana cara mengenali latihan itu termasuk kesyirikan?
Secara umum, ulama memberikan kaidah: “mengambil sebab yang bukan sebab, itu kesyirikan”. Ketika anda ingin mendapatkan sesuatu, namun cara untuk mewujudkannya sangat tidak logis, itu masuk dalam kaidah di atas.
Selengkapnya, anda bisa pelajari,

Terkait masalah bela diri, ada beberapa indikator untuk mengenali bahwa itu kesyirikan, atau setidaknya anda hindari,
1.      Menggunakan jimat. Jika guru anda menjanjikan, siapa yang sudah mencapai derajat tertentu akan mendapatkan ‘tameng pelindung’ atau ‘tabir ghaib’, baik berupa cincin, sabuk, gelang, kalung atau apapun bendanya, anda harus segera menghindarinya. Terutama, jika cara untuk mendapatkan itu, harus melalui ritual ibadah tertentu, seperti puasa, wirid, semedi di kuburan, hingga shalat tahajud malam jumat. Semua itu adalah sarana untuk mendatangkan jin yang akan membantunya.
2.      Latihan pernapasan namun diiringi dengan dzikir atau wirid tertentu. Dengan tujuan untuk meringankan tubuh atau pukulan jarak jauh atau kepretan pingsan. Semua ini kebohongan, karena jelas di luar kemampuan manusia. Dia bisa melakukan itu karena bantuan jin. Medianya adalah wirid ketika proses pernapasan.
3.      Membangun telapati antara guru dan murid. Bisa dengan memanggil nama guru atau mengingat wajah guru. Dengan itu, akan terhubung jalinan batin yang dianggap sumber kekuatan bagi si murid. Anda bisa memastikan, ini kedustaan. Karena tidak mungkin, hanya sebatas membayangkan guru, dia bisa memiliki tambahan kekuatan.
Karena itu, prinsip penting yang anda kedepankan: sikapi bela diri sebagaimana olah raga, murni latihan fisik, sehingga jauhkan semua bentuk ibadah, suluk dan amalan, ideologi, dst.

Ketiga, hindari bentuk salam yang terlarang, misalnya dengan membungkuk layaknya orang rukuk. Baik kepada guru maupun sesama lawan tanding.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan,
قال رجل: يا رسول الله أحدنا يلقى صديقه أينحني له؟ قال: فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا
Ada orang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
‘Ya Rasulullah, jika kami ketemu teman, apakah boleh membungkuk?’
Jawab beliau, ‘Tidak boleh.’
قال: فيصافحه؟ قال: نعم إن شاء
Dia bertanya lagi, ‘Bolehkah dia menyalaminya?’
Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Ya, dia salami, jika dia mau.”
(HR. Turmudzi 2728, Ibn Majah 3702, dan dishahihkan al-Albani).

Syaikhul Islam mengatakan,
وأما الإنحناء عند التحية: فينهى عنه، كما في الترمذي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنهم سألوه عن الرجل يلقى أخاه ينحني له؟ قال : لا) ولأن الركوع والسجود لا يجوز فعله إلا لله عزوجل
Membungkuk ketika memberi salam hukumnya terlarang. Sebagaimana diriwayatkan Turmudzi dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa para sahabat bertanya, jika ada orang yang ketemu temannya, bolehkah dia membungkuk? Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Tidak boleh.’ Karena rukuk dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah. (Majmu’ Fatawa, 1/377)

Keempat, hindari memukul wajah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
Jika kalian hendak memukul seseorang, hindari wajah. (HR. Bukhari 2420)

Kelima, jaga hati, jangan sampai kemampuan bela diri menjadi sebab anda bersikap sombong. Bisa jadi, setan memanfaatkan kondisi anda untuk dijadikan kesempatan menggoda anda untuk berbuat dzalim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَكُونُوا عَوْناً لِلشَّيْطَانِ عَلَى أَخِيكُمْ
Janganlah kalian menjadi penolong bagi setan untuk mendzalimi saudara kalian. (HR. Ahmad 4252 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Karena itu, pandai-pandailah jaga emosi. Di saat anda punya kelebihan bela diri, anda harus lebih pandai bersabar.

Semoga Allah selalu memberikan bimbingan hidayah dan taufiq bagi kita semua.

Allahu a’lam

Anjuran Bergeser Ketika Hendak Shalat Sunah


Apakah dianjurkan untuk berpindah tempat ketika hendak shalat sunah?

Beberapa ulama mengatakan, dianjurkan untuk berpindah tempat bagi orang yang hendak shalat sunah setelah shalat wajib. Baik dia imam maupun makmum. Ini merupakan keterangan dari Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Abu Said dan salah satu riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum.

Diantara dalil yang menunjukkan anjuran ini adalah:

Pertama, Allah berfirman tentang Firaun dan kaumnya yang dibinasakan,

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad-Dukhan: 29)

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia, maka bumi yang dulu pernah dijadikan sebagai tempat ibadah, menangisinya. Langit yang dulu dilalui untuk naiknya amal yang dia lakukan, juga menangisinya. Semantara kaumnya Firaun, karena mereka tidak memiliki amal saleh, dan tidak ada amalnya yang naik ke langit, bumi dan langit tidak menangisinya karena merasa kehilangan darinya. (Tafsir Ibn Katsir, 7:254).

Allah juga berfirman,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Az-Zalzalah: 4)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa bumi akan menjadi saksi untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Perbuatan yang baik maupun yang buruk. Makna ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Beliau menyatakan:

والعلة في ذلك تكثير مواضع العبادة كما قال البخاري والبغوي لأن مواضع السجود تشهد له كما في قوله تعالى ( يومئذ تحدث أخبارها) أي تخبر بما عمل عليها
Alasan dianjurkannya pindah tempat ketika shalat sunah adalah memperbanyak tempat pelaksanaan ibadah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bukhari dan al-Baghawi. Karena tempat yang digunakan untuk sujud, akan menjadi saksi baginya, sebagaimana Allah berfirman,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”

Maksudnya adalah mengabarkan semua amalan yang dilakukan di atas bumi. (Nailul Authar, 3:235).

Kedua, hadis dari Nafi bin Jubair, bahwa beliau pernah shalat jumat bersama Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Setelah salam, Nafi bin Jubair langsung melaksanakan shalat sunah. Setelah selesai shalat, Muawiyah mengingatkan:

لَا تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ، فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ، أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِذَلِكَ، أَنْ «لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ»
“Jangan kau ulangi perbuatan tadi. Jika kamu selesai shalat Jumat, jangan disambung dengan shalat yang lainnya, sampai berbicara atau keluar masjid. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Beliau bersabda:

“Jangan kalian sambung shalat wajib dengan shalat sunah, sampai kalian bicara atau keluar.” (HR. Muslim 883, Abu Daud 1129).

Termasuk cakupan makna bicara dalam hadis ini adalah berdzikir setelah shalat. Hadis ini menunjukkan, hikmah seseorang berpindah tempat ketika hendak melakukan shalat sunah setelah shalat wajib adalah agar tidak termasuk menyambung shalat wajib dengan shalat sunah.

Ketiga, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ، أَوْ يَتَأَخَّرَ، أَوْ عَنْ يَمِينِهِ، أَوْ عَنْ شِمَالِهِ  فِي الصَّلَاةِ، يَعْنِي فِي السُّبْحَةِ
“Apakah kalian kesulitan untuk maju atau mundur, atau geser ke kanan atau ke kiri ketika shalat.” Maksud beliau: “shalat sunah”. (HR. Abu Daud 1006, Ibn Majah 1427, Ibn Abi Syaibah 6011, dan dishahihkan al-Albani).

Hal ini juga dikuatkan dengan keterangan sahabat, dari Atha’ bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Abu said, dan Ibnu Umar mengatakan:

لَا يَتَطَوَّعُ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْفَرِيضَةَ
“Hendaknya tidak melakukan shalat sunah, sampai berpindah dari tempat yang digunakan untuk shalat wajib.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 6012).

An-Nawawi mengatakan:

قال أصحابنا فإن لم يرجع إلى بيته وأراد التنفل في المسجد يستحب أن ينتقل عن موضعه قليلاً لتكثير مواضع سجوده ، هكذا علله البغوي وغيره ، فإن لم ينتقل إلى موضع آخر فينبغي أن يفصل بين الفريضة والنافلة بكلام إنسان
“Ulama madzhab kami mengatakan, jika seseorang tidak langsung pulang ke rumahnya setelah shalat wajib, dan ingin shalat sunah di masjid maka dianjurkan untuk bergeser sedikit dari tempat shalatnya, agar memperbanyak tempat sujudnya. Demikian alasan yang disampaikan Al-Baghawi dan yang lainnya. Jika dia tidak berpindah dari tempanya maka hendaknya antara shalat wajib dan shalat sunah dia pisah dengan pembicaraan.” (al-Majmu’, 3:491).

Allahu a’lam

Amalan ketika Hujan (Bagian 01)


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kita bersyukur kepada Allah, hujan yang kita nanti-nantikan telah tiba. Kita berharap, semoga hujan yang Allah turunkan, menjadi keberkahan bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang Allah turunkan, sejenak kita akan mempelajari beberapa amalan sunah ketika hujan,
Pertama, merasa takut ketika melihat mendung gelap
Diantara kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sangat takut ketika melihat mendung yang sangat gelap. Karena kehadiran mendung gelap, merupakan mukadimah adzab yang Allah berikan kepada umat-umat di masa silam. Sebagaimana yang terjadi pada kaum ‘Ad. 
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِى أُفُقِ السَّمَاءِ تَرَكَ الْعَمَلَ وَإِنْ كَانَ فِى صَلاَةٍ ثُمَّ يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا ». فَإِنْ مُطِرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan gelap di ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya meskipun dalam shalat. Lalu beliau membaca, ‘Allahumma inni a’udzubika min syarriha’ [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya].” Apabila turun hujan, beliau membaca ‘Allahumma Shayyiban Hani’a’ [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat] (HR. Abu Daud 5101 dan dishahihkan al-Albani)

Mengapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan semua aktivitasnya?
Karena beliau takut, beliau keluar masuk rumah sambil berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan awan itu.
A’isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ .
Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat mendung gelap di lanngit, beliau tidak tenang, keluar masuk, dan wajahnya berubah. Ketika hujan turun, baru beliau merasa bahagia. A’isyahpun bertanya kepada beliau apa sebabnya. Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Saya tidak tahu ini mendung seperti apa. Bisa jadi ini seperti yang disampaikan kaum ‘Ad, “Tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih” (HR. Bukhari 3206).

Kedua, Membaca doa ketika ada angin kencang
Ketika ada angin kencang, dianjurkan membaca doa,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus.  

A'isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ »
Apabila ada angin bertiup, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca doa,
[doa di atas]
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus. (HR. Muslim 2122).

Ketiga, Membaca doa ketika hujan turun
Ketika hujan turun, dianjurkan membaca,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa
[Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].”

Dari Ummul Mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan yang lainnya).
Dalam riwayat lain, beliau membaca,
اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا
Allahumma shoyyiban hani’an
[Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].”

Keempat, Perbanyak doa ketika turun hujan
Dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika azan dan doa ketika ketika hujan turun.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078)

Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : Bertemunya dua pasukan, Menjelang shalat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.” (al-Mughni, 2/294)

Demikian beberapa adab yang bisa kita rutinkan selama musim hujan. Semoga Allah memberikan keberkahan di musim hujan ini.

Bersambung...
Amalan ketika Hujan (Bagian 01)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Kita bersyukur kepada Allah, hujan yang kita nanti-nantikan telah tiba. Kita berharap, semoga hujan yang Allah turunkan, menjadi keberkahan bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang Allah turunkan, sejenak kita akan mempelajari beberapa amalan sunah ketika hujan,
Pertama, merasa takut ketika melihat mendung gelap
Diantara kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sangat takut ketika melihat mendung yang sangat gelap. Karena kehadiran mendung gelap, merupakan mukadimah adzab yang Allah berikan kepada umat-umat di masa silam. Sebagaimana yang terjadi pada kaum ‘Ad. 
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِى أُفُقِ السَّمَاءِ تَرَكَ الْعَمَلَ وَإِنْ كَانَ فِى صَلاَةٍ ثُمَّ يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا ». فَإِنْ مُطِرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan gelap di ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya meskipun dalam shalat. Lalu beliau membaca, ‘Allahumma inni a’udzubika min syarriha’ [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya].” Apabila turun hujan, beliau membaca ‘Allahumma Shayyiban Hani’a’ [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat] (HR. Abu Daud 5101 dan dishahihkan al-Albani)

Mengapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan semua aktivitasnya?
Karena beliau takut, beliau keluar masuk rumah sambil berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan awan itu.
A’isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ .
Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat mendung gelap di lanngit, beliau tidak tenang, keluar masuk, dan wajahnya berubah. Ketika hujan turun, baru beliau merasa bahagia. A’isyahpun bertanya kepada beliau apa sebabnya. Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Saya tidak tahu ini mendung seperti apa. Bisa jadi ini seperti yang disampaikan kaum ‘Ad, “Tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih” (HR. Bukhari 3206).

Kedua, Membaca doa ketika ada angin kencang
Ketika ada angin kencang, dianjurkan membaca doa,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus.  

A'isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ »
Apabila ada angin bertiup, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca doa,
[doa di atas]
Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus. (HR. Muslim 2122).

Ketiga, Membaca doa ketika hujan turun
Ketika hujan turun, dianjurkan membaca,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa
[Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].”

Dari Ummul Mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan yang lainnya).
Dalam riwayat lain, beliau membaca,
اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا
Allahumma shoyyiban hani’an
[Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat].”

Keempat, Perbanyak doa ketika turun hujan
Dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika azan dan doa ketika ketika hujan turun.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078)

Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : Bertemunya dua pasukan, Menjelang shalat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.” (al-Mughni, 2/294)

Demikian beberapa adab yang bisa kita rutinkan selama musim hujan. Semoga Allah memberikan keberkahan di musim hujan ini.

Bersambung...