NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Selasa, 12 Agustus 2014

Mengapa Bukan Nabi Ayub?

By: Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kita sudah hafal, nabi ulul azmi ada 5: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad ’alaihimus shalatu was salam. Dan inilah pendapat yang kuat berdasarkan keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.

Dalam al-Quran, salah satu bimbingan yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah beliau bersabar sebagaimana sabarnya ulul azmi.
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati para rasul ulul azmi dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (QS. Al-Ahqaf: 35).

Nabi Ayub, kita semua telah mengetahui kisahnya. Mendengar namanya, teringat kata sabar.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa beliau tidak termasuk dalam daftar para ulul azmi? Padahal Allah perintahkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mencontoh kesabaran mereka.

Di sinilah kita memahami, kesabaran ada dua,
  1. Kesabaran fisik – zahir
  2. Kesabaran psikis – batin
Kesabaran nabi ayub karena ujian sakit dan miskim adalah kesabaran fisik, lahiriyah.
Kesabaran ulul azmi dalam dakwah adalah kesabaran psikis, batin.

Kesabaran karena ujian dakwah, lebih tinggi tingkatannya dari pada kesabaran karena ujian fisik.

Kesabaran ujian fisik tidak ada pilihan lain, selain bersabar. Karena orang yang mendapat ujian fisik, baik dia bersabar maupu tidak bersabar, ujian fisik itu akan tetap melekat pada dirinya.

Berbeda dengan kesabaran karena ujian dakwah. Kesabaran ini menuntut adanya pilihan, antara bersabar ataukah ikut arus masa yang tidak karuan. Jika dia tidak bersabar, maka pilihannya adalah hilangnya dakwah.

Terima kasih kepada para dai ahlus sunah, yang sabar mendidik umat dalam menegakkan tauhid dan sunah. Sekalipun nama baik anda harus diinjak-injak para pembela kebatilan. Hanya Allah yang bisa membalas kesabaran anda…

Mungkin Kita termasuk Salah Satunya?

By; Ammi Nur Baits

Ramadhan penuh perjuangan. Siang puasa, malam bergadang. Sungguh rutinitas yang melelahkan. Tapi siapa yang menjamin semua itu diterima?
Dari Abu hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Betapa banyak orang yang puasa, tidak mendapat apapun selain lapar. Betapa banyak orang qiyamul lail, tidak mendapatkan apapun selain bergadangan. (HR. Ahmad 8856, Ibnu Majah 1690, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Pernahkah kita merasa khawatir, barangkali kita termasuk salah satu diantara mereka?
Apa yang bisa anda bayangkan jika kita termasuk salah satu diantara mereka?
Sedih, susah, biasa saja, atau malah gembira?

Jika nurani kita berfungsi dengan sehat, seharusnya kita bersedih. Kita merasa sedih karena semua usaha yang kita lakukan sia-sia, tidak membuahkan balasan. Rugi waktu, rugi tenaga, rugi usaha, rugi modal, dst.

Ketika nurani kita sehat, kita akan berusaha memohon dan memohon kepada Allah agar Dia menerima amal kita. Dan inilah tugas mereka yang selesai beramal, memohon kepada Allah, agar amalnya diterima.
Kita bisa rutinkan doa Ibrahim,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Wahai Rab kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha mendengar lagi Maha Mengetahu

Hukum Takbiran di Selain Hari Raya


By: Ammi NurBaits 
Bolehkah takbiran di luar hari raya?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Takbir, kalimat ’Allahu akbar’ termasuk dzikir umum yang disyariatkan untuk sering diucapkan dan sering dibaca. Sebagaimana dzikir lainnya, seperti tasbih, tahmid, atau tahlil.
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
Kalimat yang paling Allah cintai ada 4: Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar. Kamu mulai dengan kalimat manapun, tidak jadi masalah. (HR. Muslim 2137).
Artinya, kita disyariatkan merutinkan dan sering mengucapkan kalimat-kalimat di atas, dengan urutan pengucapan yang bebas. Kita bisa mengucapkan Subhanallah dulu, atau Alhamdulillah dulu, atau Allahu akbar dulu, dst.
Karena alasan inilah, sebagian ulama, diantaranya Syaikh Saud al-Ghunaifisan ketika ditanya, bolehkah sering melantunkan takbiran di luar id. Jawab beliau,
هذا على كل حال جائز تشغيله. هذا على أن تكبيرات عامة في العيد وفي غير العيد ما في شيئ نأخذ تكبيرات بالعيد في هذا. لو قيل الله أكبر الله أكبر لا اله الا الله والله أكبر الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا هذا تقال في العيد وغير العيد. لكنها جاء نصها في العيد فلا مانع أن تذكر في غير العيد في هذا
والله اعلم
Memperbanyak membaca takbir secara umum boleh. Karena bentuk memperbanyak takbir secara umum, baik ketika id maupun di luar id, tidak masalah jika menggunakan takbiran id. Misalnya seseorang melantunkan: Allahu akbar.. Allahu akbar.. Laa ilaaha illallah, wa Allahu akbar. Allahu akbar kabira wal hamdulillahi katsira.. takbir ini boleh di baca ketika id dan di luar id.
Meskipun dalil tentang takbiran ini dalam id, tidak masalah jika dibaca di luar id. Allahu a’lam.
Yang beliau maksudkan adalah takbir dalam arti umum. Seseorang dianjurkan merutinkannya dan boleh dengan lafadz takbir apapun.

Kemudian, untuk kegiatan takbiran di hari idul fitri, takbiran dihentikan setelah selesai shalat idul fitri. Imam Ibnu Qudamah menukil keterangan Abul Khitab,
يكبر من غروب الشمس من ليلة الفطر إلى خروج الإمام إلى الصلاة، في إحدى الروايتين. وهو قول الشافعي. وفي الأخرى إلى فراغ الإمام من الصلاة
Dianjurkan banyak bertakbiran sejak terbenamnya matahari di malam idul fitri, hingga imam mulai mengerjakan shalat, menurut salah satu riwayat (dari imam Ahmad). Dan ini merupakan pendapat as-Syafii. Sementara dalam keterangan yang lain, takbir dihentikan hingga selesainya imam mengerjakan shalat id. (al-Mughni, 2/274).

Demikian,
Allahu a’lam

Resah Akan Nasib Amalnya

Resah Akan Nasib Amalnya
By: Ammi Nur Baits
Allah berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya akan menerima amal dari orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Maidah: 27)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang diterima amalnya berarti dia telah menjadi orang yang bertaqwa di sisi Allah. Seorang ulama mengatakan,
لو علمتُ بأنَّ اللَّهَ قبلَ منَي ركعتينِ كانَ أحبَّ إليَّ من كذا وكذا
“Andai aku tahu Allah menerima dariku shalat dua rakaat saja, itu lebih aku cintai dari pada harta yang sangat banyak.”

Mengapa mereka merasa sangat bahagia hanya dengan diterimanya satu amal?
Karena berarti mereka sudah dianggap bertaqwa oleh Allah.

Akan tetapi, yang perlu kita renungkan, tidak ada satupun manusia yang tahu apakah Allah menerima amalnya ataukah tidak. Karena itulah, orang-orang soleh selalu resah akan nasib amalnya.
Seorang ulama, Malik bin Dinar mengatakan,
ودِدتُ أنَّ اللَّهَ إذا جمعَ الخلائقَ يقولُ لي: يا مالكُ، فأقولُ: لبيَّكَ، فيأذنُ لي أن أسجدَ بينَ يديهِ سجدةً فأعرفُ أنه قد رضيَ عني، ثم يقولُ: يا مالكُ، كنْ ترابًا اليومَ، فأكونُ ترابًا
Saya membayangkan, ketika Allah mengumpulkan seluruh makhluk, kemudian dia memanggilku, ’Hai Malik’
’Saya sambut panggilan-Mu’ jawabku.
Kemudian Dia mengizinkan aku untuk sujud di depan-Nya. Sehingga berarti aku tahu Dia telah meridhaiku. Kemudian Dia berfirman,
’Hai Malik, sekarang, jadilah debu.’
Kemudian aku jadi debu. (Tafsir Ibnu Rajab, 1/242)

Kita tidak tahu apakah Allah sedang murka kepada kita ataukah ridha kepada kita...
Barangkali dia sedang marah kepada kita sementara kita tenang-tenang saja...

Berhubungan Badan ketika Puasa Sunah

Berhubungan Badan ketika Puasa Sunah
By; Ammi Nur Baits 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pendapat yang kuat, bahwa orang yang melakukan puasa sunah, dia dibolehkan membatalkan puasanya, dan tidak wajib mengqadhanya. Ini adalah pendapat syafiiyah dan hambali. Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya membatalkan puasa sunah,
Pertama, hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani)

Kedua, Setelah puasa ramadhan diwajibkan, dan puasa ‘Asyura tidak lagi wajib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kepada sahabat, bahwa mereka boleh puasa dan boleh membatalkannya. Dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ
Ini hari ‘Asyura, Allah tidak mewajibkan puasa untuk kalian. Hanya saja saya puasa. Karena itu, siapa yang ingin puasa, dipersilahkan dan siapa yang ingin membatalkan, dipersilahkan. (HR. Bukhari 2003).

Ketiga, hadis dari Aisyah radhiyallahu 'anha,
Suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang ke rumah di pagi hari. Ketika itu, ada orang yang menghadiahkan hais (adonan kurma, campur keju dan minyak). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sampai rumah, Aisyah mengatakan,
”Ya Rasulullah, tadi ada orang berkunjung menghadiahkan sesuatu untuk kita. Dan aku telah simpan sebagian untuk anda.”
”Apa itu?” tanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
”Hais.” jawab Aisyah.
”Coba tunjukkan.” pinta Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Akupun menyuguhkan kepada beliau, dan beliau memakannya.
Kemudian beliau bersabda,
قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
”Tadi pagi aku sudah niat puasa.” (HR. Muslim 1154, Nasai 2326 dan yang lainnya).

Kerena orang yang melakukan puasa sunah boleh membatalkan puasanya, maka para ulama menegaskan tidak ada kewajiban kaffarah karena hubungan badan ketika puasa sunah. Kewajiban membayar kaffarah hanya ada di puasa wajib, antara puasa ramadhan dan puasa qadha.
Hanya saja, ulama berbeda pendapat, apakah hubungan badan ketika puasa qadha ada kewajiban kaffarah ataukah tidak.
Sebagian berpendapat bahwa orang yang melakukan hubungan badan ketika puasa qadha, dia wajib membayar kaffarah. Berdasarkan kaidah,
القضاء ينزل منزلة الأداء
”Qadha statusnya sebagaimana ada’.”

Keterangan:
  • Ada’ [arab: أداء] : melaksanakan ibadah pada waktu yang telah ditentukan. Anda melakukan puasa ramadhan di bulan ramadhan, berarti telah melakukan puasa ada-an.
  • Kebalikan ada’ adalah qadha [arab: قضاء]: melaksanakan ibadah setelah batas waktu yang ditetapkan. Dan ini dibolehkan ketika ada udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa ibadah tepat waktu. Misalnya, sakit ketika ramadhan.

Berdasarkan kadiah di atas, orang yang melakukan puasa qadha, dia mendapatkan kewajiban sebagaimana puasa ketika ramadhan.

Akan tetapi kaidah ini ini bertentangan dengan kaidah baku, yaitu Baraatu ad-Dzimmah [براءة الذمة]. Artinya tidak ada beban syariat yang tidak ada dalilnya. Dalil tentang kewajiban kaffarah, hanya ada pada puasa ramadhan. Sementara tidak dijumpai dalil yang mewajibankan kaffarah jimak untuk puasa qadha. Sehingga kembali kepada hukum asal, tidak ada beban syariat berupa kaffarah jimak.
Dan inilah pendapat yang lebih kuat. Allahu a’lam

Kesimpulannya,
Kewajiban kaffarah karena hubungan badan, hanya ada untuk puasa ramadhan yang dilakukan di siang hari ramadhan.
Sementara untuk puasa qadha, tidak ada kewajiban kaffarah, apalagi sebatas puasa sunah.
Hanya saja, selayaknya setiap orang yang melakukan ibadah, meskipun itu sunah, agar dia sempurnakan hingga selesai, dan tidak diputus di tengah sebelum sempurna. Karena Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS. Muhammad: 33)

Allahu a’lam

Hukum THR untuk Pegawai

Hukum THR untuk Pegawai
 By: Ammi Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada orang yang diberi hadiah, agar tidak menolaknya, beliau bersabda,
أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ
“Hadirilah undangan dan jangan tolak hadiah!” (HR. Ahmad 3838, Ibnu Hibban 5603 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Aisyah radhiallahu ‘anha juga meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalas hadiah. (HR. Bukhari 2585).

Kita disyariatkan untuk saling memberi hadiah, agar terwujud rasa kasih sayang dan saling mencintai. Beliau bersabda,
تهادوا تحابوا
Saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Dihasankan al-Albani).

Akan tetapi, dalam kenyataan di dunia bisnis, terkadang tujuan orang memberikan hadiah, bukan karena untuk membangun hubungan saling mencintai. Tapi hadiah karena ada maunya, karena kepentingan, atau karena memperlancar bisnis. Mereka mengirimkan parcel (hadiah) kepada orang-orang tertentu yang diperkirakan bisa memberikan keuntungan duniawi kepadanya. Misalnya untuk tujuan agar penerima parsel bisa tunduk terhadap keinginannya.
Di sisi lain, hadiah semakna dengan suap. Karena itu, para ulama dalam kategori risywah (suap).

Oleh karena itu, apabila parsel (hadiah) diberikan oleh bawahan kepada atasan, baik di instansi pemerintahan ataupun swasta, atau dari seorang mahasiswa kepada dosen, atau dari seorang pengusaha kepada pejabat, atau dari seorang yang sedang bersengketa kepada hakim ataupun jaksa, atau dari klien kepada pegawai perusahaan, termasuk supplier kepada pihak marketing, padahal
a.       Semua telah mendapatkan gaji dari pihak yang mempekerjakannya,
b.      Pemberi hadiah memberikannya bukan karena menghormati kepada yang diberi, akan tetapi karena jabatannya, jika ia berhenti dari jabatannya tidak mungkin dia akan diberi hadiah,
Maka hadiah dalam kasus di atas tidak lagi murni sebagai hadiah, akan tetapi telah berubah menjadi risywah. Baik diberikan sebelum kepentingannya selesai maupun setelah urusannya selesai. Baik hadiah berupa uang, barang atau apapun bentuknya.

Hal ini dilarang dalam Islam karena akan mengakibatkan pegawai/pejabat yang mendapat amanah akan mengkhianati amanah tersebut dan akan berbuat sesuai dengan keinginan pemberi hadiah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut hadiah semacam ini sebagai bentuk korupsi. Dari Abu Humaid as-Saidi radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul.” (HR. Ahmad 23601, al-Baihaqi dalam as-Shugra 3266 dengan status hasan).

Allahu a’lam

Siapakah Khawarij (bagian 02)

Siapakah Khawarij (bagian 02)
By; Ammi Baits 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Sebelumnya kita telah membahas beberapa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mencela keberadaan khawarij, berikut karakter mereka, dan sikap yang tepat ketika menjumpai mereka. Selanjutnya, kita akan menyebutkan komplotan khawarij pertama di masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran, betapa miripnya khawarij zaman dulu dan khawarij sekarang.

Debat Ibnu Abbas dengan Khawarij
Kita awali dari cuplikan sejarah seusai perang Shiffin dan peristiwa Tahkim.
Sepulang dari peritiwa Shiffin (perang antara Ali dengan Muawiyah), Ali bin Abi Thalib bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Muawiyah.

Peristiwa tahkim, kesepakatan damai antara Ali dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma, yang diwakilkan kepada dua sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang sok tahu dengan dalil untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ
“Tidak ada hukum, kecuali hanya milik Allah.”

Mereka beranggapan – dengan kebodohannya –, Ali telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu), yang oleh mereka itu dianggap telah meninggalkan hukum Allah.

Ali tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kufah. Ali sangat berharap mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibnu Abbas agar berdialog dengan mereka.

Ibnu Abbas menceritakan,
Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: “Sungguh aku melihat seolah diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai. Satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.

‘Selamat datang wahai Ibnu Abbas, misi apa yang anda bawa?’ sambut mereka.

‘Aku datang dari sisi seorang sahabat nabi, menantu beliau. Al-Quran turun kepada para sahabat, dan mereka lebih paham tentang tafsir Al-Quran dari pada kalian.Sementara tidak ada satupun sahabat di tengah kalian. Sampaikan kepadaku, apa yang menyebabkan kalian membenci para sahabat Rasulullah dan putra paman beliau (Ali bin Abi Thalib)?’

‘Ada tiga hal..’ jawab orang khawarij tegas.

‘Apa saja itu?’ tanya Ibnu Abbas.
‘Pertama, dia menyerahkan urusan Allah kepada manusia, sehingga dia menjadi kafir. Karena Allah berfirman, ‘Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.’ Apa urusan orang ini dengan hukum Allah?’

‘Ini satu..’ tukas Ibn Abbas

‘Kedua, Ali memerangi Muawiyah, namun tidak tuntas, tidak memperbudak mereka dan merampas harta mereka. Jika yang diperangi itu kafir, seharusnya dituntaskan dan diperbudak. Jika mereka mukmin, tidak halal memerangi mereka.’

‘Sudah dua.. lalu apa yang ketiga?’ kata Ibnu Abbas.

‘Dia tidak mau disebut amirul mukminin, berarti dia amirul kafirin.’

‘Ada lagi alasan kalian mengkafirkan Ali selain 3 ini?’ tanya Ibnu Abbas.

‘Cukup 3 ini.’ jawab mereka.

Anda bisa perhatikan, betapa miripnya khawarij dulu dan sekarang. Ayat yang didengung-dengankan sama. Cara berfikir dan berlogika juga sama. Banyak menggunakan mafhum kelaziman untuk mengkafirkan banyak manusia, siapa yang setuju dengan selain hukum Allah maka dia setuju dengan kekafiran, dan siapa yang setuju dengan kekafiran maka dia kafir. dst. Bagi anda yang pernah mendengar ceramah para ’teroris’, para ‘buron polisi’ akan sering mendengarkan ayat ini diulang-ulang.

Kita kembali kepada kisah Ibnu Abbas bersama Khawarij.
Mulailah Ibnu Abbas menjelaskan ke-salah pahaman mereka,

‘Apa pendapat kalian, jika aku sampaikan kepada kalian firman Allah dan sunah Nabi-Nya, yang membantah pendapat kalian. Apakah kalian bersedia menerimanya?’

‘Ya, kami menerima.’ Jawab mereka.

‘Alasan kalian, Ali telah menunjuk seseorang untuk memutuskan hukum, akan kubacakan ayat dalam firman Allah, bahwa Allah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia untuk menentukan harga ¼ dirham. Allah perintahkan agar seseorang memutuskan hal ini. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai sembelihan yang dibawa ke ka’bah. (QS. Al-Maidah: 95)

Aku sumpahi kalian di hadapan Allah, apakah putusan seseorang dalam masalah kelinci atau hewan buruan lainnya, lebih mendesak dibandingkan keputusan seseorang untuk mendamaikan diantara mereka. Sementara kalian tahu, jika Allah berkehendak, tentu Dia yang memutuskan, dan tidak menyerahkannya kepada manusia?.’ Jelas Ibn Abbas.

‘Keputusan perdamaian lebih mendesak.’ Jawab mereka.

‘Allah juga berfirman tentang seorang suami dengan istrinya,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. (QS. An-Nisa: 35)

Aku sumpahi kalian di hadapan Allah, bukankah keputusan seseorang untuk mendamaikan sengketa dan menghindari pertumpahan darah, lebih penting dibandingkan keputusan mereka terkait masalah keluarga?

‘Ya, itu lebih penting.’ Jawab khawarij.

Alasan kalian yang kedua, ‘Ali berperang namun tidak tuntas, tidak menjadikan lawan sebagai tawanan, dan tidak merampas harta mereka.’

Apakah kalian akan menjadikan ibunda kalian sebagai budak. Ibunda A’isyah radhiyallahu ‘anha, kemudian kalian menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana budak pada umumnya, padahal dia ibunda kalian? Jika kalian menjawab, ‘Kami menganggap halal memperlakukan dia (Aisyah) sebagai budak, sebagaimana lainnya.’ berarti dengan jawaban ini kalian telah kafir. Dan jika kalian mengatakan, ‘Dia bukan ibunda kami’ kalian juga kafir. Karena Allah telah menegaskan,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (QS. Al-Ahzab: 6).

“Dengan demikian, berarti kalian berada diantara dua kesesatan.”

“Apakah kalian telah selesai dari masalah ini?” tanya Ibn Abbas

‘Ya..’ jawab mereka.

Alasan kalian yang ketiga, Ali menghapus gelar amirul mukminin darinya. Saya akan sampaikan kepada kalian kisah dari orang yang kalian ridhai (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan saya kira kalian telah mendengarnya. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat Hudaibiyah, beliau mengadakan perjanjian damai dengan orang musyrikin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali: “Tulis, ini yang diputuskan oleh Muhammad rasulullah (utusan Allah).”

Maka orang-orang musyrik mengatakan, “Tidak bisa. Demi Allah, kami tidak mengakui bahwa kamu rasul Allah. Kalau kami mengakui kamu Rasul Allah, kami akan mentaatimu. Tulis saja, ‘Muhammad bin Abdillah.”
“Hapuslah wahai Ali, hapus tulisan utusan Allah. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku utusan-Mu. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ‘Ini perjanjian damai yang diputuskan Muhammad bin Abdillah.” Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali.
“Demi Allah, Rasulullah lebih baik dari pada Ali. Namun beliau telah manghapus dari dirinya gelar rasul Allah. Dan beliau menghapus hal itu, tidaklah menyebabkan beliau gugur menjadi seorang nabi. Apakah kalian telah selesai dari masalah yang ini?” jelas Ibnu Abbas.

“Ya..” jawab khawarij.
Sejak peristiwa ini, ada sekitar 2000 orang khawarij yang bertaubat dan kembali bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sisanya diperangi oleh Ali bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar.
(Khashais Ali bin Abi Thalib, An-Nasai, hlm. 20).

Kutbah Ali di Depan Khawarij
Setelah berdebat dengan Ibnu Abbas, bertaubatlah sekitar 2 ribu orang  khawarij. Mereka balik ke Kufah, untuk bergabung bersama Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali datang sendiri menemui mereka yang tersisa dan belum bertaubat. Ketika Ali datang, mereka menyangka Ali telah berpihak kepada mereka. Mereka menganggap bahwa Ali telah bertaubat kesalahannya - menurut anggapan mereka - dan menarik kembali keputusan tahkim.
Merekapun mendengang-dengungkan hal ini di tengah Masyarakat. Hingga al-Asy'as bin Qais al-Kindi menemui Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, menyampaikan informasi bahwa masyarakat membicarakan bahwa anda telah kembali (bertaubat) dari kekufuran anda.

Keesokan harinya, pada hari jumat, Ali berkhutbah. Beliau menyinggung sikap orang-orang yang memisahkan diri dari negara. Beliau mencela habis orang yang berpecah belah. Ketika turun dari mimbar, beberapa orang di pojok masjid meneriakkan,
'لا حكم إلا لله'
Tidak ada hukum kecuali milik Allah.
‎‎"Hukum Allah, akan diterapkan kepada kalian." Komentar Ali. 

Kemudian beliau berisyarat dengan tangannya, menyuruh mereka diam. Hingga ada salah satu dari khawarij itu yang maju, sambil menyumbat telinganya, dan membaca firman Allah, 
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Jika kamu berbuat syirik, maka amalmu akan terhapus dan kamu akan menjadi orang yang merugi." (QS. az-Zumar; 65). 
Kemudian Ali radhiyallahu 'anhu membaca firman Allah, 
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلاَ يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لاَ يُوقِنُونَ
Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.(QS. ar-Rum: 60). 
[Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 734]. 

Setelah tidak memungkinkan untuk disadarkan, Ali mengikat janji kepada mereka, 
إن لكم عندنا ثلاثًا: لا نمنعكم صلاةً في هذا المسجد، ولا نمنعكم نصيبكم من هذا الفيء ما كانت أيديكم مع ‏أيدينا، ولا ‏نقاتلكم حتى تقاتلونا
Kalian memiliki 3 hak di hadapan kami, [1] kami tidak melarang kalian untuk shalat di masjid ini, [2] kami tidak menghalangi kalian untuk mengambil harta rampasan perang, selama kalian ikut berjihad bersama kami, [3] kami tidak akan memerangi kalian, hingga kalian memerangi kami. (Tarikh al-Umam wa al-Muluk, at-Thabari, 3/114)

Akhirnya para khawarij ini berkumpul, untuk menentukan pemimpin mereka. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb ar-Rasibi. Dia-pun berkhutbah di hadapan mereka, dengan khutbah yang sangat memotivasi mereka untuk zuhud terhadap dunia, berharap akhirat, menegakkan amar  
makruf nahi munkar dan menjauh diri dari masyarakat yang penduduknya dzalim ini (yaitu Ali dan rakyatnya). Sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum yang menyimpang - menurut kebodohan mereka -.
Mereka kemudian menunjuk Zaid bin Hishn at-Thai (pemimpin gembong anti-Ali), tapi dia menolak. Lalu menunjuk Huqus bin Zuhair, dia juga menolak, lalu Hamzah bin Sinan, dan dia juga menolak. Lalu ditawarkan kepada Abu Aufa al-Absy, dia juga menolak. Hingga ditawarkan kepada Abdullah bin Wahb, dan dia menerimanya. Ketika menerima, dia mengatakan, 
أما والله لا أقبلها رغبةً في الدنيا ولا أدعها فَرَقًا من الموت
"Demi Allah, aku tidak menerimanya karena berharap dunia, dan aku juga tidak menolaknya karena lari dari kematian." (an-Nihayah wal Bidayah, Ibnu Katsir, 7/316)

Dalam satu kesempatan perkumpulan mereka, Zaid bin Hishn at-Thai berkhutbah menasehatkan mereka, dengan membaca beberapa firman Allah, diantaranya, 
Firman Allah, 
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shad: 26)
Lalu firman Allah, 
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44)

Kemudian firman Allah, 
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah: 45)

dan firman Allah
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-Maidah: 47)
Lalu dia melanjutkan khutbahnya,
"Saya bersaksi bahwa para ahli kiblat (kaum muslimin) telah mengikuti hawa nafsu, membuang hukum Allah, dan berbuat dzalim dalam ucapan dan  perbuatan." 
Hingga salah satu diantara mereka menangis, dan memotivasi orang disekitarnya untuk memberontak Ali dan para sahabat. Dia mengatakan, 
اضربوا وجوههم وجباههم بالسيوف حتى يطاع الرحمن الرحيم، فإن أنتم ظفرتم وأطيع الله كما أردتم أثابكم ثواب ‏المطيعين له العاملين ‏بأمره
Sabet wajah dan jidat mereka dengan pedang, agar Dzat yang Maha ar-Rahman ar-Rahim kembali ditaati. Apabila kalian menang, dan aku mentaati Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan memberikan pahala kepada kalian seperti pahala orang yang taat kepada-Nya, mengamalkan perintah-Nya.!!?
al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menyebutkan kisah mereka, beliau berkomentar, 
وهذا الضرب من الناس من أغرب أشكال بني آدم، فسبحان من نوّع خلقه كما أراد، وسبق في قدره العظيم‏
Manusia model seperti ini adalah bentuk keturunan Adam yang paling aneh. Maha Suci Dzat yang menciptakan jenis makhluk-Nya ini seperti yang Dia kehendaki. Semua telah didahului oleh taqdir-Nya yang agung. (an-Nihayah wa al-Bidayah, 7/316)

Mereka sepakat bulat untuk menjauh dari wilayah Ali. Kemudian merekapun pergi diam-diam, satu demi satu, agar tidak ketahuan, menuju tempat yang disepakati, Nahrawan. Hingga mereka memiliki kekuatan.

Bersambung, insyaaAllah