NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Jumat, 31 Mei 2013

Sedekah tidak hanya ketika kita kaya. Sedekah akan lebih bernilai, ketika kita berikan di saat kita membutuhkan.

Sedekah tidak hanya ketika kita kaya. Sedekah akan lebih bernilai, ketika kita berikan di saat kita membutuhkan. 

Tersebutlah seorang ibu solihah. Beliau memiliki seorang putra yang menjadi tulang punggung keluarga. Di rumahnya yang penuh keterbatasan, sang ibu menunggu kapan putranya pulang. Dia pergi melakukan safar yang jauh. Hingga sang ibu putus asa, sementara sisa makanan tinggal cukup beberapa hari.

Suatu hari sang ibu sedang bersiap untuk menyantap makan siangnya. Ketika beliau mengambil suapan pertama dan siap untuk dilahap, tiba-tiba di depan pintu ada pengemis yang meminta makanan. Beliaupun tidak jadi melanjutkan suapannya. Beliau menaruh suapannya dan menyerahkan satu porsi makanan itu ke pengemis. Sehari itu, sang ibu menahan lapar.

Ternyata selang beberapa hari, tibalah putranya yang lama dia nantikan. Mulailah dia bercerita tentang kejadian yang luar biasa kepada ibunya,
Ada kejadian luar biasa yang aku alami. Setelah beberapa hari saya melintasi jalur di daerah tertentu, tiba-tiba keluar seekor singa. Sehingga akupun memegang erat punggung keledai yang aku naiki. Namun singa itu menyerang keledai. Dan kuku singa itu telah mengoyak jaket yang aku bawa, baju dan jubahku. Ketika cakarnya menghantam badanku, saya tercengang dan hampir hilang ingatan. Singa inipun membawaku dan menyeretku ke belukar yang tidak jauh. Dia bersiap untuk mengoyakku.

Tiba-tiba saya melihat orang berbadan besar, wajah dan bajunya putih, datang dan langsung memegang singa tanpa senjata. Dia naik dan pergi menghilang.

Ketika itu, orang besar tadi mengatakan: ‘Berdirilah wahai singa, satu suapan dengan satu suapan.’ Singa itupun berdiri dan lari meninggalkanku.

Akupun mencari lelaki itu, dan aku tidak berhasil menemukannya. Saya duduk menenangkan diri di tempat itu dan kembali mengambil bekal makananku. Akupun memperhatikan badanku, ternyata tidak ada satupun yang terluka. Kulanjutkan perjalanan, hingga aku bisa menyusul rombongan. Mereka sangat terheran melihat kejadian yang kualami. Namun saya kebingungan, apa makna ‘satu suapan dengan satu suapan.’

Mendengar ini, sang ibu memahami. Karena kejadian itu bersamaan dengan peristiwa saat beliau memberikan sedekah makanan. Beliau tidak sempat menelan satu suap, dan diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dengan itu, Allah selamatkan anaknya dari ‘suapan’ singa.

[Kisah ini disebutkan oleh At-Tanuji dalam kitab: Al-Faraj ba’da As-Syiddah]

Hukum Shalat di Tempat Gelap


 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Shalat di tempat yang gelap pada dasarnya mubah, artinya tidak ada anjuran khusus untuk shalat di tempat yang gelap, tidak pula ada larangan untuk shalat di tempat gelap. Di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat malam yang dikerjakan beliau dan para sahabat dilakukan di tempat dan suasana yang gelap. A’isyah radhiyallahu 'anha menceritakan,
فَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدِي فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ سَاجِدٌ يَقُولُ: أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Suatu malam, saya kehilangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akupun mencarinya dengan gerayangan tanganku. Tiba-tiba aku menyentuh kedua tumit beliau dalam posisi tegak sedang sujud. Beliau membaca: A’udzu bi ridhaka min sakhatik, wa bi mu’afatika min ‘uqubatik,….dst. (HR. Malik, Muslim, Turmudzi, dan Nasai).  
 
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang shalat di tempat yang gelap. Apakah ada hadis shahih yang menyebutkan bahwa ini makruh? Jawaban beliau,
أنا لا أعرف هذا الحديث، وعلى من أتى به أن يتحقق منه، والصلاة في الظلام في عهد النبي صلى الله عليه وسلم كانت هي الأصل؛ لأن مساجد النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك الوقت ليس فيها مصابيح، كما قالت عائشة - رضي الله عنها - "والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح..
Saya tidak pernah mengetahui hadis ini. Karena itu, siapa saja yang membawakan hadis ini, wajib menjelaskan status keabsahannya. Sedangkan shalat di kegelapan di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu yang umumnya terjadi. Karena masjid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu belum ada lampu, sebagaiman keterangan A’isyah radhiyallahu 'anha,
وَالبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
“Rumah-rumah ketika itu belum ada lampunya.” (HR. Bukhari 382)
 
Bisa Menjadi Makruh atau Dianjurkan jika Mempengaruhi Kekhusyuan
Jika shalat di tempat yang gelap bisa mempengaruhi kekhusyuan, hukum asal mubah ini bisa berubah menjadi makruh atau sebaliknya dianjurkan.
Dalam fatwa Syabakah islamiyah dinyatakan,
لكن قد يقال بكراهة الصلاة في مكان مظلم إذا كان المصلي يخاف من الظلام ويتشوش ذهنه، كما قد يقال باستحبابها إذا كانت الصلاة في الظلام أدعى للخشوع والبعد عن النظر إلى ما يلهي
Akan tetapi, bisa jadi dihukumi makruh shalat di tempat yang gelap, jika orang yang shalat takut dengan kegelapan atau mempengaruhi konsntrasinya. Sebagaimana bisa dihukumi dianjurkan, jika shalat di tempat yang gelap ini bisa mengundang rasa khusyu atau terhindar dari melihat hal-hal yang mengganggu shalat. (Fatwa Syabakah Islamiyah, 155509)
 
Doa Kunut & Maknanya
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Qunut secara bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya,
1. Tunduk dan taat
Allah berfirman,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ
“Hanya milik Allah segala yang ada di langit dan di bumi, semuanya kunut (tunduk) kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 116). 
2. Ibadah shalat
Allah berfirman,
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, lakukanlah kunut (shalatlah), sujudlah, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran: 43)
3. Diam dan tenang
Allah berfirman,
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah menghadap Allah (shalat) dengan tenang.” (QS. Al-baqara: 238)
Zaid bin Arqam mengatakan, “Dulu kamu mengobrol ketika shalat, sampai turun ayat ini, dan kami diperintahkan untuk diam, dan kami dilarang bicara.” (HR. Bukhari & Muslim)
4. Berdiri lama ketika shalat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Shalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya (berdirinya). (HR. Muslim).
An-Nawawi mengatakan,
المراد بالقنوت هنا القيام باتفاق العلماء فيما علمت
Yang dimaksud qunut adalah lama berdiri ketika shalat berdasarkan sepakat ulama, yang saya ketahui. (Syarh Shahih Muslim, 6/35)
Dan seperti inilah yang dipahami Ibnu Umar. Beliau pernah ditanya tentang makna qunut. Jawab beliau,
ما أعرف القنوت إلا طول القيام
“Saya tidak mengetahui makna qunut, selain memanjangkan bacaan ketika shalat.”
Kemudian Ibnu Umar membaca firman Allah:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا
(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri.. (QS. Az-Zumar: 9)
 
Doa Kunut
Doa kunut yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah doa kunut yang dibaca ketika shalat witir. Ini berdasarkan hadis shahih dari cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu,
عن الْحَسَن بْن عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال : عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ : ( اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ ،  ...)
Hasan bin Ali mengatakan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat doa yang hendaknya aku ucapkan ketika kunut witir: ‘Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa ‘aafinii fiiman ‘aafaiit,….dst.’ (HR. Nasa’i 1746, Abu Daud 1425, Turmudzi 464, dan dishahihkan Al-Albani. Syuaib Al-Arnauth menilai doa ini sanadnya shahih).
 
Berikut teks doa kunut:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
ALLAHUMMAH-DINII FII-MAN HADAIIT, WA ‘AAFINII FII MAN ‘AAFAIIT, WA TAWALLA-NII FII MAN TAWALLAIIT WA BAARIK LII FII MAA A’-THAIIT, WA QINII SYARRA MAA QADHAIIT, INNAKA TAQDHII WA LAA YUQDHAA ‘ALAIIK, WA INNAHUU LAA YADZILLU MAW-WAA-LAIIT, WA LAA YA’IZZU MAN ‘AADAIIT, TABAARAK-TA RABBANAA WA TA’AALAIIT
 
dalam riwayat Ibnu Mandah dalam At-Tauhid terdapat tambahan yang statusnya hasan,
وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ
WA LAA MANJAA MINKA ILLA ILAIIK
 
Penjelasan Doa Kunut
[اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ]
Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk.
Di awal doa kunut kita memohon kepada Allah petunjuk. Petunjuk berupa ilmu yang manfaat dan amal shaleh. Ilmu yang bisa membimbing kita untuk memahami benar dan salah, bisa membedakan antara jalan lurus dan kesesatan, berikut semangat untuk mengamalkan mengikuti kebenaran.
sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk
Kalimat ini sejatinya adalah kalimat tawasul. Kita menyebutkan kenikmatan hidayah yang telah Allah berikan kepada orang lain. Kita memohon hidayah kepada Allah, sebagaimana Allah telah memberikan hidayah kepada hamba-Nya yang lain.
Semacam ini yang sering diistilahkan dengan tawassul bi fi’lillah, tawasul dengan perbuatan Allah, yaitu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tawasul semacam ini juga kita lakukan ketika kita membaca shalawat saat tasyahud,
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، كما صليت على إبراهيم
“Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim…”
 
[وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ]
“berilah aku keselamatan, sebagaimana orang yang telah Engkau beri keselamatan”
Selanjutnya kita memohon keselamatan dari semua penyakit, penyakit badan maupun penyakit hati. Penyakit hati ada 2:
a.       Syahwat: semua keinginan untuk menyimpang dari kebenaran karena dorongan hawa nafsu. Baik karena motivasi harta, tahta, maupun wanita. Dan bukan termasuk penyakit syahwat ketika ada orang yang menyalurkan hasrat biologisnya pada jalur yang halal.
b.       Syubhat: semua pemikiran sesat yang masih bercokol di benak seseorang, sehingga menghalangi dirinya untuk memilih jalan kebenaran.
 
[وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ]
Jadilah wali bagiku, sebagaimana Engkau telah menjadi wali bagi hamba-Mu yang Engkau kehendaki.
 
Wali adalah kekasih yang akan menjadi pelindung, penolong, memperhatikan keadaan orang yang Dia kasihi. Ketika Allah menjadi wali yang istimewa bagi seorang hamba, maka Allah akan sangat memperhatikan si hamba ini, mengarahkannya ke jalan yang lurus, menyelamatkannya dari segala ujian dunia dan akhirat.
Allah berfirman,
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ
Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thagut (setan), yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).  (QS. Al-Baqarah: 257)
 
[وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ]
Berkahilah untukku terhadap apa yang telah Engkau berikan kepadaku
 
Berkah berasal dari kata birkah [arab: بركة] : tempat luas yang menampung air. Dari asal kata ini, para ulama mengatakan, berkah adalah kebaikan yang banyak dan bersifat terus-menerus.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kebaikan yang banyak dan berlimpah, dalam nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Karena sedikit yang berkah, jauh lebih baik dari pada banyak, namun tidak berkah.
Ketika seseorang tidak diberkahi hartanya, dia tidak bisa mendapatkan banyak kebaikan dan manfaat dari hartanya. Kita jumpai ada orang yang hartanya banyak, namun dia terjerat kasus hukum, tidak bahagia bersama keluarga, selalu merasa kurang, habis di tangan anaknya, habis hanya untuk jajan dan jajan. Itu contoh harta yang tidak berkah.
Demikian pula orang yang tidak diberkahi ilmunya. Sekalipun ilmunya banyak, dia tetap saja seperti orang bodoh. Tidak ada pengaruh ilmu yang dia pelajari. Beberapa kiyai yang sudah mengkhatamkan berbagai buku, namun akhlaknya, ibadahnya, kepribadiannya, tidak jauh berbeda dengan preman.
 
[وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ]
Lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau takdirkan
 
Terkait takdir, ada 2 hal yang perlu dibedakan: (a) Ketetapan Allah dan (b) Sesuatu yang Allah tetapkan.
Ketetapan Allah selalu baik. Karena ketetapan Allah hanya berputar pada dua prinsip: Keadilan atau karunia. Berbeda dengan sesuatu yang Allah takdirkan. Ada yang baik dan yang buruk.
Semua takdir baik, seperti ditakdirkan menjadi orang mukmin, dilapangkan rizkinya, diberi rasa aman, bagian dari karunia Allah. Sebaliknya, keadaan buruk yang Allah tetapkan, sejatinya bagian dari keadilan Allah.
 
[إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ]
Sesungguhnya Engkau yang menetapkan dan tidak ada yang menjatuhkan ketetapan untuk-Mu
 
Allahlah satu-satunya Dzat yang menetapkan segala sesuatu. Karena Dia pemilik kekuasaan yang sempurna. Tidak ada yang memaksa Allah untuk menetapkan takdir, tidak pula ada seorangpun yang menjatuhkan keputusan untuk Allah. Karena itulah, dalam urusan takdir, kita tidak boleh bertanya-tanya, mengapa Allah menetapkan takdir demikian, apa alasan Allah menciptakan setan yang hanya bisa merusak.. dst. Allah tegaskan dalam Al-Quran,
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya terhadap apa yang Dia lakukan, namun merekalah yang ditanya (atas perbuatan yang mereka lakukan).” (QS. Al-Anbiya: 23)
 
[وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ]
Sesungguhnya tidak akan terhina orang Engkau jadikan wali-Mu.
 
Di atas kita telah memohon kepada Allah, agar Dia menjadi wali kita. Bagian ini kita memuji-Nya, bahwa tidak akan terhina orang Engkau jadikan wali-Mu.
Dalam doa ini pula kita diajari bahwa kita hanya akan mencari kemuliaan dari Allah, dengan berusaha menjadi wali-Nya, dan tidak menjadi musuh-Nya.
Siapakah wali Allah?
Allah tegaskan dalam Al-Quran,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ* الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ( - ) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 – 63)
Syaikhul Islam mengatakan,
من كان مؤمناً تقياً، كان لله ولياً
“Siapa saja yang beriman dan bertaqwa maka dia menjadi wali Allah.”
Beriman dalam hatinya dan menampakkan pengaruh imannya dalam tingkah lakunya.
Ada orang yang jarang shalat, suka nenepi di kuburan, gua-gua, rogo sukmo, sampai bisa mengobati dan membuka praktek pengobatan alternatif, kemudian dia ngaku wali. Kita benarkan pengakuannya ini, dan kita nyatakan dia wali setan dan bukan wali Allah. Dia bisa mengobati karena dibantu setan.
 
[وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ]
Tidak akan mulia orang yang menjadi musuh-Mu.
 
Siapapun yang menjadi musuh Allah, dia tidak akan mulia di dunia dan akhirat. Dia hanya mendapatkan kehinaan dan kerugian.
مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah: 98)
 
Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang kafir adalah musuh Allah, dan semua orang kafir berada di posisi terhina. Namun sayang, banyak orang muslim yang silau dengan prestasi dunia mereka. Sehingga mereka memandang orang kafir sebagai orang hebat, layak ditiru peradabannya.
Karena alasan inilah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita untuk memanggil orang kafir dengan panggilang kehormatan, dengan panggilang sanjungan, atau yang semakna dengan itu. Beliau bersabda,
لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
‘Jangan kalian menyebut orang munafik: Sayid (tuan), karena jika memang dia tuan, kalian telah membuat marah Rab kalian.’ (HR. Ahmad 22939 dan Abu Daud 4977 dan perawiya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
 
[تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ]
Maha Mulia Engkau wahai Rab kami, dan Maha Tinggi.
 
Di penghujung doa kunut, kita memuji Allah ta’ala dengan dua sifatnya yang mulia,
a.       Sifat ‘Tabaruk’, artinya kita mangkui bahwa Allah-lah ahlul barakah (sumber berkah). Tabaarakta berarti Engkau ya Allah adalah Dzat yang banyak kebaikannya, sangat luas dan menyeluruh kebaikannya, mencakup seluruh makhluk
b.       Sifat ‘Al-Uluw’; Maha Tinggi. Allah Maha Tinggi Dzat-Nya dan sifat-Nya. 
Maha Tinggi Dzat-Nya, artinya Dzat Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, dan terpisah dengan seluruh makhluk-Nya. Karena Allah tersucikan dari keadaan menyatu dengan makhluk-Nya.
Maha Tinggi sifat-Nya, artinya Allah memiliki sifat-sifat yang sangat mulia. Sifatnya berada di puncak kemuliaan. Tidak ada satupun yang kurang maupun yang cacat pada sifat Allah.
 
[Disadur dari Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 14/88 – 96].
 
[وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ]
Tidak ada tempat selamat dari (hukuman-Mu), kecuali dengan bersandar kepada-Mu
 
Selanjutnya kita juga memuji Allah, mengakui betapa Maha Kuasanya Allah. Tidak ada satupun makhluk-Nya yang bisa selamat dari hukuman-Nya atau ujian-Nya, kecuali mereka yang bersandar kepada Allah.
 
Dianjurkan Bershalawat Ketika Mengakhiri Kunut
Dianjurkan untuk membaca shalawat ketika mengakhiri doa kunut. Karena demikianlah yang menjadi kebiasaan para sahabat di masa silam.
Al-Albani mengatakan,
قد ثبت في حديث إمامة أبي بن كعب الناس في قيام رمضان أنه كان يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم في آخر القنوت و ذلك في عهد عمر رضي الله عنه رواه ابن خزيمة في صحيحه
Terdapat hadis yang shahih bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami para sahabat ketika taraweh ramadhan. Dan beliau membaca shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di akhir doa kunut. Dan itu terjadi di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu. Hadis ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya.
(Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 3/170)

Allahu a'lam