NGOBAR ASSALAM

Ngobar Assalam, ikuti dan kunjungi Ngobar Assalam di Masjid Assalam Minomartani setiap hari Minggu Pagi sehabis sholat jama'ah Subuh.

Jumat, 29 November 2013

SIKAP DAN CARA MEMAHAMI BID’AH


اما بعد فان خير الحديث كتاب الله و خير الهدي هدي محمد وشر المآمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru. Dan setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap perbuatan sesat masuk neraka” (Muslim dan An-Nasa’i).

Yang dimaksudmuhdatsatadalah

1.Suatu perkara yang tidak tersurat atau tersirat baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah; atau

2.Suatu   perkara  yang bertentangan /berlawanan dengan Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’.

Sebagian  ulama mengartikan bid’ah adalah sesuatu yang muncul baru, tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w., dan tidak termasuk di dalam berbagai kandungan dalil-dalil syaradan dasar-dasar umum (al-ushul al-’ammah) (Baca: Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Marram, Juz 2, hal. 79)
 
Atsar sahabat, al menyatakan:

1.Perkataan Umar, yang memerintahkan agar shalat malam (tarawih) pada bulan Ramadhan dilakukan secara berjamaah, yang pada waktu itu dilakukan oleh beberapa orang berkelompok-kelompok kecil terpencar di Masjid Nabawi, dan yang menjadi imam adalah Ubay bin Ka’ab al-hafidz. Lalu Umar berkata: Bid’ah yang baik, ya seperti ini (ni’mat al-bid’ah hadzihi)”.

2.Usul Umar pada masa Khalifah Abu Bakar  untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf.

Atas dasar atsar di atas para ulama membagi muhdatsat (bid’ah) ada dua yaitu sayyi’ah (sesat) dan hasanah.

Bid’ah hasanah hukumnya boleh (tidak dilarang), sedangkan bid’ah sayyi’ah (sesat), para ulama sepakat hukumnya haram.

Jadi jelaslah yang dimaksud dalam hadits Nabi adalah muhdatsat (bid’ah) sayyi’ah atau yang tercela, sehingga kegiatan yang muncul di masyarakat (tradisi) sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an< As-Sunnah baik yang tersurat maupun tersirat, Atsar, dan Ijmaadalah boleh.

Pandangan di atas berdasarkan sebuah riwayat: Rasulullah bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbagai  kewajiban, janganlah kamu sia-siakan, dan Allah telah menetapkan batasan-batasan (berbagai larangan), janganlah kamu melampauinya, dan Allah telah mengharamkan berbagai hal, janganlah kamu melanggarnya. Dan Allah mendiamkan banyak hal, bukan karena lalai melainkan sebagai rahmat bagi engkau semua, tidak usah kamu perbincangkan/ tidak perlu dibahas-bahas (Ad-Daru Qutni, menurut An-Nawawi hadis hasan. Al-Qardhawi, Al-Haram wal Haram fil Islam).

Menurut Al-Qardhawi perkara yang diperbolehkan berdasarkan hadts tersebut bukan hanya terbatas pada sesuatu jenis benda tyertentu, tetapi meliputi p0erbuatan dan kegiatan yang biasa kita sebut dengan adat (tradisi) atau muamalat ( relasi sosial), hal ini pada dasarnya tidak haram.
 
Berdasarkan hal-hal di atas, tradisi yang muncul baru atau lama sepanjang tidak bertentangan baik tersurat maupun tersirat dean ada akarnya dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Atsar, dan Ijmaboleh saja kita lakukan bahkan akan bernuansa Islami, seperti syawalan, maulid Nabi, isrami’raj, tahlil dan lain sebagainya.

Akhirnya kita harus menyimpulkan demi keutuhan dan kesatuan umat yaitu:

1.Mari kita kerjakan dan laksanakan semua ajaran Islam yang telah disepakati, terutama amalan yang mahdhah..

2.Dan mari kita maklumi dan hormati amalan yang berbeda yang tidak bertentangan  dengan ajaran Islam, terutama bukan perkara yang mahdhah.

Makanan Penduduk Neraka

Makanan Penduduk Neraka
 
Tanya:
Apakah ketika di neraka, org dikasih makan? Lalu apa makanannya?
 
Jawab:
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Penduduk neraka merasakan kelaparan, dan Allah menyediakan makanan untuk mereka. Hanya saja, makanan ini akan membuat mereka semakin tersiksa. Allah jelaskan dalam al-Quran, bahwa diantara makanan penduduk neraka adalah dhari’ dan zaqqum. Sementara minuman mereka adalah hamim, al-ghislin, dan al-ghassaq.
Allah berfirman,
ليس لهم طعام إلا من ضريع* لا يسمن ولا يغني من جوع
“Mereka tidak memiliki makanan kecuali dari dhari’ ()  yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 6 – 7).
Dhari’ adalah tanaman duri yang dikenal di sekitar mekah. Sering disebut dengan As-Syibriq. Pohon ini memiliki duri sangat tajam.  Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,
الشبرق: نبت ذو شوك لاطئ بالأرض، فإذا هاج سمي ضريعاً.
”Syibriq, pohon berduri yang tumbuh tanpa cabang. Jika telah kering, namanya dhari’.  ”
Qatadah mengatakan,
من أضرع الطعام وأبشعه
“Dhari’ adalah makana yang paling membahayakan dan paling mengerikan.” (at-Takhwif min an-Nar, al-Hafidz Ibnu Rajab, hlm. 108).
Makanan ini dihidangkan bagi penduduk neraka, sama sekali tidak mengenyangkan, dan tidak memberikan manfaat sedikitpun. Mereka tidak merasakan lezat, dan juga tidak bermanfaat bagi tubuhnya. Karena itu, kehadiran makanan ini, sejatinya bagian dari siksaan yang Allah berikan kepada mereka. (al-Jannah wa an-Nar, Dr. Umar al-Asyqar, hlm. 87).
 
Allah juga menceritakan makanan penduduk neraka dalam surat ad-Dukhan,
إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ ( ) طَعَامُ الْأَثِيمِ ( ) كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ ( ) كَغَلْيِ الْحَمِيمِ
Sesungguhnya pohon zaqqum itu, ( ) Makanan orang yang banyak berdosa (orang kafir). ( ). Makanan ini seperti kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, ( ) seperti mendidihnya air yang Amat panas. (QS. Ad-Dukhan: 43 - 46).
Kemudian Allah jelaskan di surat as-Shaffat,
أَذَلِكَ خَيْرٌ نُزُلًا أَمْ شَجَرَةُ الزَّقُّومِ ( ) إِنَّا جَعَلْنَاهَا فِتْنَةً لِلظَّالِمِينَ ( ) إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ ( ) طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ ( ) فَإِنَّهُمْ لَآكِلُونَ مِنْهَا فَمَالِئُونَ مِنْهَا الْبُطُونَ ( ) ثُمَّ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْهَا لَشَوْبًا مِنْ حَمِيمٍ ( ) ثُمَّ إِنَّ مَرْجِعَهُمْ لَإِلَى الْجَحِيمِ
(makanan surga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. ( ) Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim. ( ) Sesungguhnya Dia adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala. ( ) mayangnya seperti kepala setan. ( ) Maka Sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu, Maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum itu. ( ) kemudian sesudah Makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas. ( ) kemudian Sesungguhnya tempat kembali mereka benar-benar ke neraka Jahim. (QS. As-Shaffat: 62 – 68)
 
Betapa mengerikannya gambaran pohon zaqqum,
1.       Tumbuh dari dasar neraka
2.       Dahannya menjuntai panjang
3.       Bentuk buahnya sangat buruk, seperti kepala setan. Sekalipun orang tidak pernah ketemu wajah iblis, namun mendengar namanya saja, pasti sudah merinding
4.       Makanan ini tidak mengenyangkan dan tidak bisa menghilangkan kelaparan yang dialami penghuni neraka. Namun karena lapar, merekapun memakannya dengan lahap.  
5.       Makanan penduduk neraka akan menyebabkan tersedak. Karena makanan ini nyangkut di kerongkongan. Allah jelaskan,
إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا وَجَحِيمًا ( ) وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا
“Karena Sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala.
dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.” (QS. Al-Muzammil: 12 – 13)
6.       Setelah perutnya penuh dengan zaqqum, makanan ini mendidih dalam perutnya. Layaknya minyak mendidih di atas wajan.
7.       Merekapun merasa kesakitan dan berusaha mencari minuman. Merekapun segera menuju al-Hamim, air mendidih yang sangat panas.
8.       Mereka meminum al-Hamim itu, hingga putus usus-ususnya. Allah berfirman,
وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
”Mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya.” (QS. Muhammad: 15).
 
Subhanallah... betapa mengerikannya neraka. Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita darinya. Amiin.

Menggabungkan Niat Puasa Sunah dengan Puasa Qadha Ramadhan

Menggabungkan Niat Puasa Sunah dengan Puasa Qadha Ramadhan
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Ada dua pembahasan dalam masalah ini,
Pertama, hukum melaksanakan puasa sunah, bagi orang yang memiliki tanggungan puasa qadha.
Sebagian ulama melarang melakukan puasa sunah, hingga dia menyelesaikan qadhanya. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini didasari kaidah bahwa amal wajib lebih penting dari pada amal sunah, sehingga qadha ramadhan yang statusnya wajib, harus didahulukan sebelum puasa sunah.
Sementara mayoritas ulama berpendapat, bahwa orang yang memiliki tanggungan qadha puasa ramadhan, dibolehkan melaksanakan puasa sunah. Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dan pendapat keduanya lebih mendekati kebenaran. Allahu a’lam.
Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: http://www.konsultasisyariah.com/puasa-sunnah-sebelum-qadha-ramadhan/
 
Kedua, sebagian ulama memberikan pengecualian untuk puasa 6 hari di bulan syawal. Bahwa orang yang hendak puasa sunah 6 hari di bulan syawal, dia diharuskan menyelesaikan qadha puasa ramadhannya terlebih dahulu, agar dia bisa mendapatkan pahala seperti puasa selama setahun.
Kesimpulan ini berdasarkan hadis dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang puasa ramadhan, kemudian dia ikuti dengan 6 hari puasa syawal, maka seperti puasa setahun.” (HR. Muslim 1164)
Pada hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan janji pahala seperti puasa setahun dengan 2 syarat: (1) Menyelesaikan puasa ramadhan, dan (2) Puasa 6 hari di bulan syawal.
Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: http://www.konsultasisyariah.com/qadha-dulu-ataukah-syawal-dulu/.
Mengingat puasa 6 hari di bulan syawal dikaitkan dengan selesainya puasa puasa ramadhan, maka tidak mungkin seseorang menggabungkan niat puasa syawal dengan niat puasa qadha. Sebagaimana tidak mungkin seseorang menggabungkan shalat sunah ba’diyah dengan shalat wajib yang sedang dikerjakan.
 
Ketiga, menggabungkan puasa sunah selain syawal dengan qadha ramadhan
Ada dua pendapat ulama dalam kasus ini.
Pendapat pertama, Tidak boleh menggabungkan niat puasa qadha dengan puasa sunah lainnya. Sebagaimana tidak boleh menggabungkan niat ketika puasa ramadhan dengan puasa sunah lainnya.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فإن من عليه صيام واجب من قضاء رمضان، أو من كفارة، أو نحو ذلك، فلا يصح له أن يجمعه مع صوم التطوع بنية واحدة، لأن كلاً من الصوم الواجب وصوم التطوع عبادة مقصودة مستقلة عن الأخرى، ولا تندرج تحتها، فلا يصح أن يجمع بينهما بنية واحدة
”Orang yang melaksanakan puasa wajib, baik qadha ramadhan, puasa kaffarah, atau puasa lainnya, tidak sah untuk digabungkan niatnya dengan puasa sunah. Karena masing-masing, baik puasa wajib maupun puasa sunah, keduanya adalah ibadah yang harus dikerjakan sendiri-sendiri. Dan puasa sunah bukan turunan dari puasa wajib. Sehingga tidak boleh digabungkan niatnya.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 7273)
Pendapat kedua, boleh menggabungkan niat puasa sunah dan puasa wajib, selama puasa sunah itu tidak memiliki kaitan dengan puasa wajib.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
من صام يوم عرفة ، أو يوم عاشوراء وعليه قضاء من رمضان فصيامه صحيح ، لكن لو نوى أن يصوم هذا اليوم عن قضاء رمضان حصل له الأجران : أجر يوم عرفة ، وأجر يوم عاشوراء مع أجر القضاء ، هذا بالنسبة لصوم التطوع المطلق الذي لا يرتبط برمضان
”Orang yang melakukan puasa hari arafah, atau puasa hari asyura, dan dia punya tanggungan qadha ramadhan, maka puasanya sah. Dan jika dia meniatkan puasa pada hari itu sekaligus qadha ramadhan, maka dia mendapatkan dua pahala: (1) Pahala puasa arafah, atau pahala puasa Asyura, dan (2) Pahala puasa qadha. Ini untuk puasa sunah mutlak, yang tidak ada hubungannya dengan ramadhan.” (Fatawa as-Shiyam, 438).
 
Dalam Fatwa Nur ’ala ad-Darbi, ketika membahas puasa qadha dan kaitannya dengan puasa sunah, Imam Ibnu Utsaimin juga menjelaskan ,
وأما إذا أراد أن يصوم هذا الواجب حين يشرع صومه من الأيام كصيام عشرة ذي الحجة وصيام عرفة وصوم عاشوراء أداء للواجب فإننا نرجو أن يثبت له أجر الواجب والنفل لعموم قول الرسول عليه الصلاة والسلام لما سئل عن صوم يوم عرفة قال (احتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده) فأرجو أن يحقق الله له الأجرين أجر الواجب وأجر التطوع وإن كان الأفضل أن يجعل للواجب يوماً وللتطوع يوم آخر
Ketika ada orang yang hendak puasa wajib (qadha), bertepatan dengan puasa sunah, seperti puasa 10 hari pertama dzulhijjah, atau puasa arafah, atau puasa asyura, sekaligus puasa wajib, kami berharap dia mendapatkan pahala puasa wajib dan puasa sunah. Berdasarkan makna umum dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang puasa arafah, ’Saya berharap kepada Allah, agar puasa ini menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.’
Karena itu, saya berharap Allah memberikan dua pahala untuknya, pahala wajib dan pahala sunah. Meskipun yang afdhal, hendaknya puasa wajib dilakukan dalam satu hari dan puasa sunah di hari yang lain. (Fatawa Nur ’ala ad-Darbi, yang disebarkan dalam situs resmi beliau: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_1969.shtml)
 
Hal yang sama juga difatwakan oleh Lajnah Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi), ketika ditanya tentang menggabungkan niat puasa sunah dan puasa wajib. Jawaban Lajnah,
يجوز صيام يوم عرفه عن يوم من رمضان إذا نويته قضاء ، وبالله التوفيق
”Boleh puasa hari arafah, sekaligus untuk puasa qadha, jika dia anda meniatkannya untuk qadha. Wa billahi at-Taufiq.” Fatawa Lajnah Daimah, ditanda tangani oleh Imam Abdul Aziz bin Baz, (10/346).
 
Tarjih:
Para ulama mengupas malasah ini dalam pembahasan hukum tasyrik an-niyah (menggabungkan niat dua ibadah atau lebih). Amal yang bisa digabungkan niatnya adalah amal yang ghairu maqsudan li dzatih (yang penting ada amal itu, apapun bentuknya).
Dalam kasus puasa arafah dan asyura, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa hari arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
 
Dari hadis ini bisa disimpulkan bahwa suatu kegiatan puasa bisa disebut puasa hari arafah, jika puasa itu dikerjakan pada hari arafah atau tanggal 9 Dzulhijjah. Demikian pula, suatu puasa bisa disebut puasa hari asyura, jika puasa itu dikerjakan pada hari asyura atau tanggal 10 Muharam. Artinya, apapun bentuk puasanya, jika dikerjakan pada saat itu, pelakunya mendapat pahala puasa arafah atau puasa asyura.
 
Berdasarkan kesimpulan ini, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bolehnya menggabungkan niat puasa wajib dengan puasa sunah, selain puasa 6 hari di bulan syawal.

Keutamaan Doa Meminta Surga & Perlindungan dari Neraka

Keutamaan Doa Meminta Surga & Perlindungan dari Neraka 
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dinyatakan dalam sebuah hadis,
إذا صليتَ الصبح فقل قبل أن تكلم أحداً من الناس " اللهم أجرني من النار سبع مرات " فإنك إن متَّ مِن يومك ذلك كتب الله لك جواراً مِن النار ، وإذا صليت المغرب فقل قبل أن تكلم أحداً من الناس اللهم أجرني من النار" سبع مرات فإنك إن متَّ مِن ليلتك كتب الله عز وجل لك جواراً مِن النَّار
”Apabila kamu selesai shalat subuh, becalah doa berikut sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika pada hari itu kamu mati maka Allah akan menetapkan bahwa kamu jauh dari neraka. Jika kamu selesai shalat maghrib, ucapkanlah doa ini sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika malam itu kamu mati, maka Allah tetapkan bahwa kamu jauh dari neraka.”
Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya no. 18054, Abu Daud no. 5079, dan Ibn Hibban 5/367, dari jalur al-Harits bin Muslim, dari bapaknya Muslim bin harits at-Tamimi secara marfu’.
Syaikh Syuaib al-Arnauth mengatakan,
إسناده ضعيف، مسلم بن الحارث جهله الدارقطني، ولم يؤثر توثيقه عن غير ابن حبان. وقد اختلف في اسمه واسم أبيه
Sanad hadis ini dhaif, Muslim bin Harits dinilai majhul (perawi tak dikenal) oleh ad-Daruquthni, sementara penilaian dia sebagai tsiqah (perawi terpercaya) tidak dianggap dari selain Ibnu hibban. Ulama berbeda pendapat tentang namanya dan nama bapaknya. (Ta’liq Musnad Ahmad, 29/593).
Hadis ini juga dinilai lemah dalam kitab as-Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (kumpulan hadis dhaif), no. 1624.
 
Keutamaan Meminta Surga
Setelah membaca kesimpulan di atas, kita tidak perlu resah, karena ada hadis shahih yang semakna dan bisa kita amalkan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ الْجَنَّةُ: اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ 
”Siapa yang meminta surga 3 kali, maka surga akan berkata: ’Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga.’ Dan siapa yang memohon perlindungan dari neraka 3 kali, maka neraka akan berkata: ’Ya Allah, lindungilah dia dari neraka.” (HR. Ahmad 12585, Nasai 5521, Turmudzi 2572 dan yang lainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth dan dinilai shahih oleh al-Albani).
 
Jika kita perhatikan, hadis di atas bersifat umum, artinya,
1.      Tidak ada teks doa khusus, sehingga anda bisa meminta surga dengan kalimat permohonan surga apapun. Bisa juga dengan bahasa yang kita pahami: Ya Allah, aku memohon surga, atau Ya Allah, lindungilah aku dari neraka.
2.      Tidak ada batasan waktu dan tempat, sehingga kita bisa membacanya kapanpun dan dimanapun.
3.      Disebutkan batasan angka, yaitu 3 kali. Artinya untuk mendapatkan keutamaan itu, kita baca minimal sebanyak 3 kali, dan maksimal tanpa hitungan.

Liur Manusia Najis?

Liur Manusia Najis?
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Imam Ibnu Majah dalam sunannya menyebutkan judul bab:
بَابُ اللُّعَابِ يُصِيبُ الثَّوْبَ
Bab, tentang air liur yang mengenai baju.
Kemudian, beliau menyebutkan satu hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa bercerita,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَامِلَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ، وَلُعَابُهُ يَسِيلُ عَلَيْه
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menggendong Husain bin ‘Ali di atas pundak beliau, dan air liur Husain menetes mengenai beliau.” Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah 658 dan dishahihkan al-Albani, juga disebutkan oleh Imam Ahmad no. 9779 dalam Musnadnya dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth.
 
Termasuk Liur yang Keluar ketika Tidur
Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang liur yang keluar ketika tidur. Jawaban beliau,
اللعاب الذي يخرج من النائم أثناء نومه طاهر وليس بنجس، والأصل فيما يخرج من بني آدم الطهارة إلا ما دل الدليل على نجاسته لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إن المؤمن لا ينجس ) [ رواه الإمام البخاري في " صحيحه " من حديث أبي هريرة رضي الله عنه
Liur yang keluar ketika seseorang tidur statusnya suci dan tidak najis. Dan hukum asal segala sesuatu yang keluar dari manusia adalah suci, kecuali yang terdapat dalil bahwa itu najis. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya orang mukmin tidak najis.’ Diriwayatkan oleh Imam al-Albani dalam shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. 
 
Kemudian beliau menegaskan,
فاللعاب والعرق ودمع العين وما يخرج من الأنف كل هذه طاهرة، لأن هذا هو الأصل، والبول والغائط وكل ما يخرج من السبيلين نجس. وهذا اللعاب الذي يخرج من الإنسان حال نومه داخل في الأشياء الطاهرة كالبلغم والنخامة وما أشبه ذلك، وعلى هذا فلا يجب على الإنسان غسله ولا غسل ما أصابه من الثياب والفرش.
Liur, keringat, air mata, atau cairan yang keluar dari hidung, semuanya suci. Inilah hukum asal. Sementara kencing, kotoran, dan setiap yang keluar dari dua jalan, statusnya najis. Liur yang keluar dari seseorang ketika dia tidur, termasuk benda suci, sebagaimana ingus, dahak atau semacamnya. Karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya atau mencuci baju yang terkena liur.
[al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, 5/10].
 
Keterangan:
Beliau menegaskan bahwa air liur tidak wajib dicuci. Mohon untuk tidak dipahami ‘tidak boleh dicuci’. Tidak wajib artinya, jika ada air liur yang terkena baju maka tidak masalah baju ini digunakan untuk shalat. Namun jika ini mengganggu karena bau, maka harus dicuci.